tag:blogger.com,1999:blog-66970977442508690682024-03-06T02:40:01.845+07:00Karya Sastra | Desi PuspitasariUnknownnoreply@blogger.comBlogger39125tag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-5818066759105013992023-03-14T01:42:00.002+07:002023-03-14T01:42:29.052+07:00Saat Bertemu Suamiku<div><b>Kematian kerap menyiratkan tanda dan misterinya. Ini kisah seorang istri saat bertemu suaminya, yang baru saja meninggal.</b></div><div><br /></div><div>Mata mama bengkak. Kakak perempuan suamiku meremas tisu dalam genggamannya. Saudara-saudara yang lain diam menunduk. Aku beringsut mundur. Sebuah tangan mencengkam kuat lenganku.</div><div><br /></div><div>”Bertahanlah.“ Air mata menggenang di pelupuk mata Rob, adik laki-laki suamiku, ”Ini saat terakhir.“</div><div><br /></div><div>”Tidak bisa.“</div><div><br /></div><div>”Kau lebih dari bisa.“ Rob balas berbisik. Ia merengkuh lenganku dalam lengannya. Menyeret kembali ke dalam barisan.</div><div><br /></div><div>Aku mengalah meski tidak dapat mendengar baik semua perkataan. Seperti gumaman tidak jelas. Semacam dengungan lebah. Isak tangis yang kadang-kadang terdengar seperti desiran daun kering di atas trotoar. Entah telingaku yang tidak bekerja baik, entah pikiranku. Si ponakan kecil tiba-tiba mundur. Menggenggam tanganku dan ikut berdiri di samping.</div><div><br /></div><div>Lima menit terasa seperti lima jam. Sepuluh menit terasa bagai sepuluh jam. Kakiku kesemutan. Leherku pegal. Keringat mengalir di punggung di balik blus hitamku. Beberapa kali Rob menepuk tanganku pelan-pelan seolah-olah ia takut aku akan pingsan. Aku menggeleng. Aku tidak akan pingsan. Hanya tidak tahan berlama-lama di sini.</div><div><br /></div><div>Sebagian anggota keluarga menabur bunga. Anggota keluarga yang lain meletakkan bertangkai-tangkai bunga. Mataku semakin pedas. ”Aku harus segera pergi.“</div><div><br /></div><div>Rob menoleh. ”Apa aku harus menemanimu?“</div><div><br /></div><div>”Aku tidak mabuk. Aku masih bisa mengendarai mobil dengan waras.“</div><div><br /></div><div>”Kau masih ingat jalan pulang, kan?“</div><div><br /></div><div>”Ya,“ jawabku murung.</div><div><br /></div><div>”Jangan berlaku yang aneh-aneh.“</div><div><br /></div><div>”Tidak.“ Aku memeriksa kunci mobil di dalam tas. Ada.</div><div><br /></div><div>”Aku mengkhawatirkanmu.“</div><div><br /></div><div>”Ya. Hanya butuh sedikit waktu menyepi. Sebentar saja.”</div><div><br /></div><div>Orang-orang mulai berbubaran. Aku harus segera pergi.</div><div><br /></div><div>Anak kecil di sebelah menarik-narik tanganku. Aku berjongkok di dekatnya. Ia memelukku.</div><div><br /></div><div>“Terima kasih,” kataku.</div><div><br /></div><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOhD8QMqXVo2in8BIrMD17YbZCVV_2L9ivnkSq6D7LN2li3YYO8_lfDi_Vqs0IL9qYudSS8yIfaYRrTdN51_gKEC1hnWJpsHvFprH9S8Mck0pnbKC9qqkxYmmIDUn9ZeUf2xw-XM52xjH4ygwCIethRlSkbgwYtf-TUlUShwMtWteuKTBci4R0lHpg/s1280/Saat%20Bertemu%20Suamiku.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="918" data-original-width="1280" height="230" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOhD8QMqXVo2in8BIrMD17YbZCVV_2L9ivnkSq6D7LN2li3YYO8_lfDi_Vqs0IL9qYudSS8yIfaYRrTdN51_gKEC1hnWJpsHvFprH9S8Mck0pnbKC9qqkxYmmIDUn9ZeUf2xw-XM52xjH4ygwCIethRlSkbgwYtf-TUlUShwMtWteuKTBci4R0lHpg/s320/Saat%20Bertemu%20Suamiku.jpg" width="320" /></a></div><br />Aku mengendarai mobil seorang diri. Tidak dalam kecepatan tinggi. Pelan-pelan saja. Tidak untuk menikmati pemandangan di tepi jalan atau keadaan ramai yang tidak sampai penuh sesak di Minggu siang, aku memang tidak tahu hendak ke mana.</div><div><br /></div><div>Aku ingin menangis. Tapi, air mata tertahan semua di tenggorokan. Menggumpal-gumpal sedikit membikin mual. Keringat dingin muncul sebagai titik-titik di bagian atas bibir dan kening. Aku mematikan mesin pendingin.</div><div><br /></div><div>Aku menepikan mobil di salah satu pinggir taman kota. Suaranya berdecup pelan saat aku keluar dan mengaktifkan kunci otomatis.</div><div><br /></div><div>Di depan sebuah kedai minuman ringan tanpa perlu melihat papan menu yang menawarkan jenis minuman lain aku langsung saja, ”Kola. Es. Dalam gelas.“</div><div><br /></div><div>Seorang pelayan dalam seragam dan celemek merah mengangguk.</div><div><br /></div><div>“Sepuluh gelas.”</div><div><br /></div><div>Pelayan itu berhenti.</div><div><br /></div><div>“Lima gelas maksudku.”</div><div><br /></div><div>Pelayan itu mengangguk. Pesananku siap dalam beberapa menit.</div><div><br /></div><div>Aku berlalu sambil membawa satu dalam dekapan dan mencangking wadah berisi empat gelas kertas berisi kola di tangan satunya. Terlihat seperti penjual minuman di pertandingan bola. Masa bodoh. Ada satu bangku kosong di taman kota. Bagian sisi baratnya agak terlindung teduh rimbun pepohonan. Aku mengambil duduk di sana.</div><div><br /></div><div>Gelas kola pertama kuteguk-teguk. Aku mengernyitkan mulut dan dahi. Soda di mulut menimbulkan sensasi geli dan sedikit pahit-pahit manis. Aku tidak begitu terbiasa sebenarnya. Tidak apa-apa. Kuteguk lagi. Sensasi menyengat pahit-pahit manis muncul lagi. Begitu terus. Habis gelas pertama aku bersendawa panjang. Aku melanjutkan gelas kedua. Jelang gelas ketiga, telingaku sedikit berdenging, kepalaku mulai pening. Aku mabuk kola.</div><div><br /></div><div>”Di sini kosong, kan?“ Sebuah suara laki-laki bertanya.</div><div><br /></div><div>Aku mengangguk tanpa menoleh. Semua berhak duduk di bangku taman kota, kok. Tidak terasa derak perlahan saat pria itu mengambil tempat di sisi timur.</div><div><br /></div><div>”Suka sekali kola, ya?“ Suara itu kembali menyapa.</div><div><br /></div><div>Gelas itu berhenti menggantung di mulut. Lalu kuturunkan. Aku terdiam sebentar sebelum menjawab. ”Tidak.“</div><div><br /></div><div>”Tapi... lima gelas?“</div><div><br /></div><div>Aku mengurangi isi gelas dengan tiga kali teguk. Lalu kuturunkan gelas dan kuputar-putar dalam genggaman. ”Kopi sebenarnya.“</div><div><br /></div><div>”Ahh, kau suka kopi.“</div><div><br /></div><div>”Tidak.“ Aku berdiam agak lama. ”Suamiku.”</div><div><br /></div><div>Laki-laki di sebelah ber-”oh“ pelan.</div><div><br /></div><div>”Dia suka kopi buatanku. Kopi murni. Kopi pahit. Tanpa gula. Atau sedikit gula. Katanya, ia baru bisa memulai hari bila sudah meminum kopi murni racikan tanganku di saat pagi.” Aku berhenti. Mereguk kola sekali lagi. Perutku kembung. Penuh gas. ”Aku jadi suka kopi sedikit-sedikit.“</div><div><br /></div><div>”Laki-laki yang berbahagia,“ komentarnya sambil tersenyum. Aku seperti mendengar ia tersenyum.</div><div><br /></div><div>”Bagaimana bisa?“</div><div><br /></div><div>”Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang suami saat istri tercintanya menyiapkan sarapan. Perhatian kecil itu; saat istri menjerang air, menakar kopi dalam jumlah tepat, kemudian suara kucuran air panas dan aroma kopi. Secangkir yang dihidangkan di atas meja dan senyum yang disunggingkan. Bukan kopinya, bisa diganti dengan susu, atau orak-arik telur, atau sebutir apel, atau apapun yang disajikan, tapi perhatian sebagai wujud cinta dari si istri… yang bisa membuat seorang suami bisa bersemangat memulai hari.”</div><div><br /></div><div>Aku menelengkan kepala. ”Begitu?”</div><div><br /></div><div>”Kenapa kau malah memesan kola?“</div><div><br /></div><div>”Minum kopi saat ini hanya akan membuatku sedih.“</div><div><br /></div><div>”Begitu?“</div><div><br /></div><div>Aku bersendawa sekali lagi. Mengaduh pelan; seperti ada sengatan kecil listrik di hidung. Soda. Aku menunggu sengatan itu reda baru berkata, ”Dia—suamiku sudah meninggal.“ Suaraku seperti tercekik. ”Hari ini pemakamannya. Baru saja. Tadi pagi. Maksudku... aku baru saja dari pemakamannya. Lalu ke sini. Menyendiri. Kau tahu... yah... ini sulit.“</div><div><br /></div><div>”Hmm ....“</div><div><br /></div><div>”Meninggal karena kecelakaan. Mobilnya ringsek. Padahal dia baru pulang dari kantor... dan.... Ia sempat dibawa ke rumah sakit tapi tidak bisa diselamatkan.“</div><div><br /></div><div>Sisa sedikit di dasar gelas, aku menenggak habis kola. Kembali bersendawa. Sepertinya ini akan jadi kola terakhir. Aku tidak sanggup lagi. Kepalaku pusing padahal aku masih harus berkendara pulang. Setelah ini aku akan membeli dan meneguk banyak-banyak air mineral. Apa laki-laki di sebelah bersedia menghabiskan jatah kola yang tersisa? Aku ingin bertanya tapi mulutku malah berkata, “Waktu itu hujan. Hari ini dia dimakamkan. Tadi pagi. Maksudku… aku sudah mengatakannya tadi, ya? Maafkan aku.”</div><div><br /></div><div>“Itu mengapa kau mengenakan pakaian hitam?“ Suaranya terdengar simpatik.</div><div><br /></div><div>Aku menunduk. Air mataku bergulir. Keluar dari ujung mata, melorot turun sepanjang pipi, menggantung di dagu. Tes.</div><div><br /></div><div>”Saat malam terlalu letih bagi kami untuk banyak bercerita. Setelah makam malam kami kadang menonton HBO atau saluran lain. Saluran film atau musik yang kami dengarkan dalam volume lirih. Untuk mengobrol agak panjang kami memanfaatkan waktu ’sempit‘ sebelum berangkat bekerja. Ia suka kopi buatanku. Ia juga suka saat remah roti isi jatuh mengotori bagian depan seragam kerjaku. Kami suka menertawakan hal-hal sepele yang kami temui sepanjang hari yang kami obrolkan sembari sarapan. Ia mengantarku terlebih dulu baru kemudian berangkat ke kantornya sendiri. Aku pulang sore hampir selalu tepat waktu. Naik bus. Ia sering lembur. Jadi, aku makan malam sendiri baru kemudian menemaninya saat ia sudah tiba di rumah.“</div><div><br /></div><div>Aku berhenti. Menarik napas panjang yang sedikit susah karena hidungku bumpat. Suaraku tertahan-tahan. ”Bagaimana bisa aku menjalani hari-hari sendiri setelah ia pergi? Aku harus bercerita pada siapa kemudian!? Tidak ada lagi yang menemaniku sarapan! Makan malam! Menonton televisi! Mendengarkan musik!“</div><div><br /></div><div>Tidak ada tanggapan.</div><div><br /></div><div>”Aku kini bahkan sudah merindukan suara mesin elektrik pencukur janggutnya!“ Aku menggosok mata. Menghapus jejak air mata. Menarik napas panjang-panjang, tersendat-sendat. Lalu, mengembuskannya pelan-pelan. Menenangkan diri. Aku menurunkan wadah gelas kola dari pangkuan ke atas bangku. ”Kau mau?“</div><div><br /></div><div>”Terima kasih. Tapi, aku lebih suka kopi murni.“</div><div><br /></div><div>Aku menoleh. Ups! Mataku silau. Seluruh paras laki-laki itu terhalang sinar matahari. Aku kembali memalingkan wajah.</div><div><br /></div><div>“Kukira kau bisa melalui semua ini.“</div><div><br /></div><div>Apa maksudnya?</div><div><br /></div><div>”Kesendirian itu. Saat sedih atau kesepian, ingat-ingat saja hal-hal yang membuatmu bahagia. Fisik memang telah terpisah. Tapi, perasaan hangat saat bersama akan selalu ada.“</div><div><br /></div><div>Hatiku terasa nyeri kembali. Kali ini entah; apakah disebabkan rasa kehilangan, rindu yang amat sangat, atau perkataan laki-laki itu ada benarnya?</div><div><br /></div><div>”Kau perempuan yang memiliki senyum paling memesona yang suamimu pernah kenal. Meski kadang rapuh, sebenarnya kau cukup tegar.“</div><div><br /></div><div>”Apa kau kenalan suamiku?“ Aku menoleh dan melindungi pandanganku dengan telapak tangan. Laki-laki itu menunduk membetulkan sepatunya. Tidak tahan lama-lama terkena silau matahari, aku lagi-lagi memalingkan wajah ke arah semula.</div><div><br /></div><div>”Kurasa aku harus segera pergi. Terima kasih.“ Laki-laki itu berdiri. ”Dia sangat mencintaimu.”</div><div><br /></div><div>”Dia?“</div><div><br /></div><div>”Suamimu.“ Laki-laki itu tersenyum. Aku mendengar ia mendengus tersenyum.</div><div><br /></div><div>”Selamat tinggal.“</div><div><br /></div><div>”Apa kau kenalan suamiku?“</div><div><br /></div><div>Tidak dijawab. Aku mendongak dan mengangkat tangan di pelipis demi menghindari silau. Punggung laki-laki berjas itu perlahan menjauh.</div><div><br /></div><div>”Tepatnya—” Laki-laki itu menoleh. Wajahnya yang agak ternaung teduh kini terlihat jelas.</div><div><br /></div><div>Ya, Tuhan!</div><div><br /></div><div>”Aku mencintaimu.” Laki-laki itu tersenyum untuk terakhir kali sebelum berbalik dan berlalu.</div><div><br /></div><div>Mataku panas. Hidungku bumpat. Tenggorokanku sakit.. Pandanganku kabur. Dari balik genangan air mata aku melihat laki-laki itu seakan berpendar putih.</div><div><br /></div><div>Dia suamiku.</div><div><br /></div><div>Aku mengerjap.</div><div><br /></div><div>Sosok suamiku menghilang.</div><div><br /></div><div>Aku berhasil kembali ke rumah dalam keadaan baik. Tidak sempoyongan. Tidak berantakan. Ibu dan keluarga yang lain menyambut cemas. Aku bilang aku baik-baik saja. Tidak ada yang percaya. Saat keadaan sudah tenang, aku berdiri mengambil sudut sepi. Membawa selepek makanan ringan yang tidak kusentuh sama sekali. Rob mendekat.</div><div><br /></div><div>”Aku baik-baik saja. Sungguh.”</div><div><br /></div><div>Rob tersenyum. ”Ya. Kakakku pernah bilang begitu. Kau akan baik-baik saja karena kau perempuan tegar. Ia mencintaimu.“</div><div><br /></div><div>”Ya. Ia juga bilang begitu. Persis seperti itu.“</div><div><br /></div><div>Rob menatap tidak mengerti. Aku tidak ingin menjelaskan. Biarlah kejadian saat bertemu suamiku menjadi kenangan terakhir yang kumiliki sendiri.</div><div><br /></div><div><br /></div><div style="text-align: right;"><i>**</i></div><div style="text-align: right;"><i><b>Desi Puspitasar</b>i lahir di Madiun, 7 November 1983. Kini menetap di Yogyakarta. Karya-karyanya berupa novel dan cerpen, beberapa telah diangkat ke layar kaca dan film. Cerpen dan cerita bersambungnya telah dimuat di berbagai media.</i></div><div style="text-align: right;"><i><br /></i></div><div style="text-align: right;"><i><b>Polenk Rediasa</b>, lahir 18 Maret 1979 di Tambakan, Buleleng. Ia menempuh pendidikan Pascasarjana Kajian Budaya, Universitas Udayana dan kini menjadi pengajar di Universitas Ganesha Singaraja, Bali. Memperoleh berbagai penghargaan di bidang seni rupa.</i></div>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-50395520294789868802023-03-14T01:39:00.000+07:002023-03-14T01:39:01.041+07:00Karangan Bunga<div><b>Seharusnya Sabtu pagi itu menjadi hari yang cerah dan tenang bagi Helene. Pukul sembilan ia akan membuka toko dan menata karangan-karangan bunga sesuai rangkaian ciamik hasil kreasi tangannya.</b></div><div><br /></div><div>Lalu, ia akan membikin segelas teh lemon yang ditambahi sedikit gula—entah mengapa ia paling tidak bisa menghabiskan teh tawar sejak kecil—meletakkannya di salah satu meja di dalam toko. Tak perlu ada tambahan biskuit atau kudapan ringan untuk menemani ritual minum teh paginya. Ia tak ingin tubuhnya menjadi gembrot. Meski tak mungkin lagi jatuh cinta dan atau bercinta, Helene tetap ingin menjaga tubuhnya tetap ramping.</div><div><br /></div><div>Namun, dering telepon pagi itu membuyarkan segala rutinitas akhir pekan yang cerah dan menyenangkan. Seseorang di seberang sana memesan karangan bunga untuk kematian. Gangguan semacam ini tak pernah menjadi masalah bagi Helene karena untuk itulah ia membuka toko bunganya; menyediakan bunga baik untuk kegembiraan seperti pernikahan, pesta ulang tahun, lamaran, dan juga untuk berita duka seperti barusan.</div><div><br /></div><div>”Baik, satu karangan bunga untuk...” Helene mencatat setiap pesanan dengan teliti. Ia membacakannya sekali lagi untuk memastikan. Ada perasaan aneh saat ia menyebut, ”Tulip dan white acacia untuk hand bouquet.”</div><div><br /></div><div>”Itulah satu-satunya pesan yang aneh yang diminta oleh mendiang suamiku,” suara di seberang menjelaskan, seolah-olah bisa merasakan ketidakmengertian Helene.</div><div><br /></div><div>”Oh ya, baiklah,” jawab Helene. Ia tak pernah menolak setiap jenis dan rangkaian bunga apa pun yang diminta pelanggannya. Pelanggan adalah raja, ya kaan...?!</div><div><br /></div><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqZCCpZAS50kwDvmKzOQ29Cg-gmonKcDkZxmkVv72RAITgjPw7HBq6BJZTXG7x3tufw5qflNJgvJwFIygjsaroynMnPpfJ7pjXgEao3YKnMq4txYh_jT1hE6PYCWAJi1DpJo3hylbwaPU8qou1IoTOxzTs1Nb68SehQryhigxn_WtNiQ1tz-7-4Y2B/s1280/Karangan%20Bunga.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1280" data-original-width="1280" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqZCCpZAS50kwDvmKzOQ29Cg-gmonKcDkZxmkVv72RAITgjPw7HBq6BJZTXG7x3tufw5qflNJgvJwFIygjsaroynMnPpfJ7pjXgEao3YKnMq4txYh_jT1hE6PYCWAJi1DpJo3hylbwaPU8qou1IoTOxzTs1Nb68SehQryhigxn_WtNiQ1tz-7-4Y2B/s320/Karangan%20Bunga.jpg" width="320" /></a></div>Namun, keanehan kali ini bukanlah tentang hand bouquet untuk seseorang yang sudah mati. Tapi, lebih pada jenis bunga yang dipilih; tulip dan white acacia. Mantan suami Helene yang telah bercerai dengannya belasan tahun yang lalu sangat menyukai jenis bunga tersebut.</div><div><br /></div><div>Helene memeriksa nama dan alamat tujuan. Namanya persis seperti nama mantan suaminya. Ah, paling hanya kebetulan, perempuan paruh baya itu mencoba berpikiran positif dan tak ambil pusing. Ia segera menyiapkan pesanan dibantu salah seorang pegawainya. Saat karangan bunga sudah jadi, ia memutuskan untuk mengantarnya langsung ke alamat. Tak menggunakan jasa antar yang telah menjadi langganan mereka seperti biasanya.</div><div><br /></div><div>”Hanya karangan bunga kecil,” katanya beralasan. ”Aku juga ingin berkeliling sambil melemaskan kaki. Kau jaga toko baik-baik, ya.”</div><div><br /></div><div>Pegawai toko bunga milik Helene mengangguk dan segera masuk kembali.</div><div><br /></div><div>Helene mengantarkan karangan bunga ke alamat pemesan. Selepas berpisah dengan mantan suaminya, P-J, ia tak lagi mengikuti kabar laki-laki itu. Sempat ia diberitahu oleh seorang kawan bahwa laki-laki itu menikah lagi. Tapi, menikah dengan siapa, kemudian tinggal di mana, dan apakah akhirnya laki-laki itu mau punya anak atau tidak, Helene tak peduli dan tak mau tahu.</div><div><br /></div><div>Tiba di alamat tujuan, Helene segera menurunkan rangkaian bunga dan menatanya sesuai dengan petunjuk Maria, seorang istri yang sedang berduka. Perempuan itu mengenakan gaun berwarna hitam dengan kalung mutiara—entah asli atau sekadar tiruan—sederhana. Tampangnya terlihat sedih, matanya sembab bekas menangis.</div><div><br /></div><div>”Anda membawakan hand bouquet tulip dan white acacia itu?” tanya Maria.</div><div><br /></div><div>Helene menyerahkan bungkusan kertas coklat berisi rangkaian bunga pesanan. Maria menerimanya sembari menghela napas. ”Pilihan yang aneh, bukan? Lagian, untuk apa, sih, kau sudah mati tapi masih menenteng-nenteng buket bunga meski cuma diletakkan di dalam peti?”</div><div><br /></div><div>Helene tak menjawab. Ia hanya mengamati Maria yang melangkah pelan-pelan ke arah peti. Maria terlihat begitu muda dan rapuh. Bibirnya mungil dan berwarna merah muda. Kulitnya putih pucat agak kemerahan.</div><div><br /></div><div>Sosok laki-laki itu terbaring tenang di dalam peti. Seperti sedang tertidur pulas dengan kedua telapak tangan diletakkan tepat di tengah. Helene melongok. Meski sudah banyak berubah ia masih bisa mengenali; ya, itu P-J, mantan suaminya.</div><div><br /></div><div>Maria menghenyakkan buket bunga ke dalam peti begitu saja. Tatapannya letih dan setengah jengkel. ”Akhirnya mati juga. Dasar laki-laki bangkotan.”</div><div><br /></div><div>Helene menoleh saat jemari Maria menyentuh lengannya. ”Kau masih tampak cantik, Ma’am. Dan, aku juga mengerti kenapa akhirnya kau memilih berpisah dengan....” perempuan yang sedang dalam pakaian berduka itu menunjuk ke dalam peti menggunakan dagu, ”Mantan suamimu.”</div><div><br /></div><div>Helene memerhatikan lagi paras pucat nan dingin yang sedang terbaring di dalam peti. Laki-laki yang kerap berkata dan berperilaku kasar. Dan, tak pernah menganggap memiliki anak dalam sebuah perkawinan adalah ide yang menarik. Helene merasa pernikahannya sudah tak sehat manakala mereka kerap cekcok. Pertamanya, mereka bertengkar mengenai prinsip hidup yang tak lagi sepaham. Berikutnya, mereka bertengkar mengenai hal-hal sepele yang sebenarnya tak patut untuk dijadikan sumber masalah.</div><div><br /></div><div>Maria menyentuh lengan Helene sekali lagi. Tatapannya seperti tertarik, namun hanya sekejap. Ia segera berlalu untuk menyambut tamu-tamu yang berdatangan. Helene mengamati sosok PJ yang terbujur kaku sekali lagi sebelum kemudian pamit.</div><div><br /></div><div>Seharusnya Selasa pagi itu menjadi hari yang cerah dan tenang bagi Helene. Pukul sembilan ia akan membuka toko dan menata karangan-karangan bunga dengan rangkaian ciamik hasil kreasi tangannya. Lalu, ia akan membikin secangkir teh lemon yang ditambahi sedikit gula—entah mengapa ia paling tidak bisa menghabiskan teh tawar sejak masih kecil. Tak perlu ada tambahan biskuit atau kudapan ringan sebagai teman minum teh. Helene tak suka lingkar pinggangnya bertambah sekian inci.</div><div><br /></div><div>Bel di pintu berkelinting ketika Helene baru saja meletakkan nampan teh hangat untuk ia nikmati sendiri. Pegawai yang bekerja di toko segera menyambut dan menanyakan keperluan pelanggan yang baru datang.</div><div><br /></div><div>”Aku ingin bertemu Bu Helene. Apa ia ada?”</div><div><br /></div><div>Helene mengenali suara Maria. Senyum Maria segera mengembang ketika melihat si pemilik toko ternyata berada di ruang yang sama. Perempuan itu semestinya masih dalam masa berduka tapi ia mengenakan pakaian warna cerah.</div><div><br /></div><div>Helene menyilakan Maria duduk dan ngeteh bersama. Pelayan toko mengambilkan satu cangkir kosong. Maria lebih senang teh tawar. Ia menyeruput perlahan, tampak begitu menikmati tehnya.</div><div><br /></div><div>”P-J benar-benar laki-laki kasar, ya,” katanya saat meletakkan cangkir tehnya.</div><div><br /></div><div>Helene tak kaget dengan kenyataan bahwa mantan suaminya adalah laki-laki tak berperilaku halus. Ia hanya kaget dengan kehadiran Maria dan kalimat pembuka obrolan mereka.</div><div><br /></div><div>”Ia tak pernah setuju kami punya anak.” Maria memain-mainkan cangkir tehnya. ”Saat aku berkeras ingin punya anak, ia menyebut nama Anda dan mengatakan banyak hal yang buruk.”</div><div><br /></div><div>”Oh,” tanggap Helene pendek. Ia sudah tak ada perasaan dan takkan ambil pusing dengan segala perkataan mendiang P-J.</div><div><br /></div><div>”Aku penasaran dengan Anda. Aku mencari tahu dan senang mendapati bahwa Anda juga menyukai bunga—bahkan punya toko bunga,” kata Maria. ”Aku jadi menyangsikan perkataan P-J tentang Anda yang katanya perempuan berhati keras dan dingin. Seseorang yang menyukai bunga tentunya berhati lembut, kan?”</div><div><br /></div><div>Helene hanya mengangkat bahu. Ia tak mengiyakan atau menolak karena bibirnya sedang sibuk menyeruput minuman.</div><div><br /></div><div>”Aku sering mengamati Anda. Aku juga sering membayangkan betapa harum tubuh Anda, Ma’am Helene. Harum wewangian bunga-bungaan. Aku penasaran bagaimana rasanya tidur dalam pelukan Anda.” Maria menghela napas. ”P-J tak lagi tidur memelukku sejak aku berkeras ingin punya anak darinya.”</div><div><br /></div><div>”Ia memang tak pernah menyukai ide tentang memiliki anak,” kata Helene.</div><div><br /></div><div>”Sejak melihatmu kupikir ide memiliki anak itu tak lagi penting.” Maria mengikih malu. ”Suatu malam P-J tersedak makanannya. Aku membiarkannya selama beberapa saat. Ia jatuh pingsan dan barulah aku menghubungi dokter keluarga kami. Nyawa P-J tak bisa diselamatkan. Aku berpura-pura menangis begitu sedih. Keesokan pagi, aku menghubungi Anda. Kupesan karangan bunga kematian dan hand bouquet berisi jenis kembang yang aneh.”</div><div><br /></div><div>Maria mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Helene.</div><div><br /></div><div>”Aku hanya berbekal googling saat mencari nama bunga itu; tulip dan white acacia. Semua kulakukan supaya aku bisa bertemu dan bertegur sapa dengan Anda, Ma’am.” Wajah Maria memerah.</div><div><br /></div><div>Helene tak yakin P-J tak pernah menyebut jenis bunga kesukaannya pada Maria. Apa yang diceritakan Maria barusan mengindikasikan dua hal; gadis itu berbohong atau hanya sedang mengarang-ngarang untuk diceritakan saat bertandang ke toko bunga dan bertemu dengan pemiliknya.</div><div><br /></div><div>Maria kembali tersenyum malu. ”Kuberanikan diri datang ke mari. Anda benar-benar cantik.”</div><div><br /></div><div>Helene merasakan wajahnya menghangat. Ia ingin bangkit untuk mengaca dan memeriksa apakah wajahnya menjadi kemerahan – tapi ia menahan diri.</div><div><br /></div><div>”Aku penasaran....,” sorot mata Maria berubah. ”Apakah Anda... juga... terasa wangi... saat ku... cium....”</div><div><br /></div><div>Helene diam sejenak sebelum kemudian ia tertawa. Maria menatap bingung.</div><div><br /></div><div>”Wangi bukan rasa, Sayang. Wangi adalah aroma,” jelas Helene.</div><div><br /></div><div>Gadis muda berambut merah keriting itu menyadari kesalahannya. Ia mengikih malu. ”Maaf. Beginilah kalau seorang janda yang masih dalam masa berkabung malah keluyuran.” Ia kemudian berpamitan.</div><div><br /></div><div>”Terima kasih atas waktunya, Ma’am. Kuharap kau tak keberatan bila aku mampir lagi kapan-kapan.”</div><div><br /></div><div>Helene tersenyum. Ia bangkit hendak mengantar Maria ke pintu. ”Mampirlah kapan pun kau mau.”</div><div><br /></div><div>Maria yang sudah berdiri tiba-tiba berbalik. Kedua tangannya merengkuh bahu Helene. Bibirnya yang merah muda dan kenyal mengecup bibir Helene. Mereka berciuman, lidah mereka bersentuhan, begitu ringan, begitu tanpa paksaan.</div><div><br /></div><div>Maria menarik kepalanya ke belakang dengan lembut. ”Anda terasa manis, Ma’am. Ada sedikit kecut... Anda mencampur lemon dalam teh Anda, ya kan? Aku suka.”</div><div><br /></div><div>Wajah Helene kembali meruap hangat.</div><div><br /></div><div>Maria kembali berpamitan. ”Au revoir.”</div><div><br /></div><div>Bel di pintu toko berkelinting. ”Au revoir,” balas Helene lirih. Jari tangannya menelusuri bibirnya, merasakan kembali betapa lembut ciuman Maria di sana.</div><div><br /></div><div><br /></div><div style="text-align: right;"><i>**</i></div><div style="text-align: right;"><i><b>Desi Puspitasari</b>, kini tinggal di Yogyakarta. Sebagai cerpenis, cerpen-cerpennya telah dipublikasikan oleh beberapa media lokal dan nasional. Sementara sebagai novelis, lebih dari 10 buku karyanya telah diterbitkan. Tiga tahun terakhir, karya tulisnya juga merambah ke naskah-lakon, di antaranya adalah ”Toilet Blues” (2018), ”Sekar Murka” (2017), dan ”Menjaring Malaikat” (2016) yang merupakan adaptasi dari cerpen karya Danarto; ”Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat”.</i></div><div style="text-align: right;"><i><br /></i></div><div style="text-align: right;"><i><b>Edi Sunaryo</b>, pelukis dan pegrafis tinggal di Yogyakarta. Dosen Seni Murni di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta dan Pascasarjana ISI Surakarta. Sangat giat mengikuti berbagai pameran di tingkat nasional dan internasional.</i></div>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-40061348392968635972023-03-14T01:32:00.004+07:002023-03-14T01:33:53.736+07:00Rest in Blues<p>Rest In Blues merangkum 14 cerita Desi Puspitasari yang pernah dimuat di berbagai media cetak.</p><p>Kisah-kisah dalam Rest in Blues menyihir dengan ketenangan pencerita, mengulik ragam warna dalam kehidupan, terutama yang berkaitan relasi sepasang manusia.</p>
Mengutip review dari laman <i><a href="https://luckty.wordpress.com/2021/11/09/review-rest-in-blues/">luckty.wordpress.com</a></i>, buku ini adalah kumpulan cerpen yang memiliki benang merah tentang cinta, pengkhianatan dan kesetiaan. Daripada membahas cerpennya satu per satu nanti berujung spoiler, lebih baik akum au bahas tentang hal-hal berbau gender dalam kumpulan cerpen ini: <div><ol style="text-align: left;"><li><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6wTEX6_TFcVDow6MdAc6c0rWGTu4xGkBAe651x9X5ofjZm8NOwcVWEnorMZVHaDMkQKV7XClolCZugQMJcsUU8tSu8zauPhVVZvAmYdOYQT5s66DqCDHL4eoGjMt8gH3XNE7o9KGQnS33iLT3POF6sIgoif06Ju6xceZe35kixN1VJLaz8R2MOoO-/s800/Rest%20in%20Blues%20(Pojok%20Cerpen,%202021).jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="800" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6wTEX6_TFcVDow6MdAc6c0rWGTu4xGkBAe651x9X5ofjZm8NOwcVWEnorMZVHaDMkQKV7XClolCZugQMJcsUU8tSu8zauPhVVZvAmYdOYQT5s66DqCDHL4eoGjMt8gH3XNE7o9KGQnS33iLT3POF6sIgoif06Ju6xceZe35kixN1VJLaz8R2MOoO-/s320/Rest%20in%20Blues%20(Pojok%20Cerpen,%202021).jpg" width="320" /></a></div>Perempuan Asia masih dianggap rendah bagi masyarakat di Eropa. Terlihat di halaman 102 saat Dominique memandang rendah perempuan penghibur yang dicurgainya berselingkuh dengan suaminya. </li><li>Hubungan dua insan yang sebenarnya tidak sehat. Yang satu kesepian, yang satu untuk membalas sakit hati. Apakah impas karena telah membalas sakit hati bisa dimasukkan dalam kategori saling memafkan? Di halaman 99 dan 102 membahas tentang perselingkuhan dan balas dendam. Dalam kasus dua poin ini, perempuan selalu disudutkan. Padahal perselingkuhan terjadi bisa saja tidak hanya dari sisi perempuan, tapi juga sisi laki-laki. </li><li>Ketika perempuan memiliki beban ganda. Selain melakukan pekerjaan domestik, juga menjadi pencari nafkah menggantikan peran suaminya sebagai keluarga karena sang suami pasca kecelakaan tidak bisa bekerja lagi. </li><li>Perjodohan masih kerap terjadi di zaman sekarang. Itulah yang dialami sang tokoh dalam Cerpen Gelas Kopi ke-124. Orangtua kerap mengganggap pilihan mereka yang terbaik bagi anaknya, padahal realitanya tidak selalu berjalan sesuai yang diharapkan. </li><li>Perempuan malam masih menjadi sorotan menarik untuk dibahas. Banyak mereka mengambil jalan ini dengan alas an ekonomi. Terlihat dalam cerpen Musim yang Buruk untuk Bercinta dan cerpen CROT! </li><li>Sedangkan dalam cerpen Pemain Biola, tentang masalah klise yang kerap dialami pasangan muda memutuskan pasangannya karena sang perempuan terlihat lebih sibuk dibandingkan sang laki-laki. Memang alasan klise, tapi di zaman sekarang ini kita masih menemukan hal-hal seperti yang sebenarnya menutupi alibi para laki-laki yang insecure dengan perempuan yang melebihi mereka. </li><li>Di dalam cerpen SKARF, tanpa disadari sang tokoh utama yang merupakan laki-laki pekerja bernama Morris melakukan sexual harrasement kepada rekan kerja perempuannya dengan berkata kalimat yang tidak pantas meskipun itu diucapkan dengan nada bercanda di halaman 76.</li></ol><div><br /></div></div><br />Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-19757568971462743732017-05-05T12:25:00.000+07:002017-07-09T12:28:56.754+07:00Blue Romance Bang, Bang, Boom! Suatu ketika, bosnya memberi semacam keringanan. Kesi diperkenankan membalas surat pembaca dengan cara yang seenak udel gadis itu, dengan syarat<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjy_xEJrStSnQL0paQJkMgRO2in5GVC-dJhrhVuPwACbqtuiGsHNrSFoOKmQ3zJxzI4AtztOU7vF9QUoETSuGibN1lNzophCkSASnQWkOMpr6NMylni0EMwf6j6QrHGay3OT1jl305T928/h120/Blue+Romance%253A+Bang+Bang+Boom+-Desi+Puspitasari.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="120" data-original-width="86" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjy_xEJrStSnQL0paQJkMgRO2in5GVC-dJhrhVuPwACbqtuiGsHNrSFoOKmQ3zJxzI4AtztOU7vF9QUoETSuGibN1lNzophCkSASnQWkOMpr6NMylni0EMwf6j6QrHGay3OT1jl305T928/h120/Blue+Romance%253A+Bang+Bang+Boom+-Desi+Puspitasari.jpg" width="229" /></a></div>
Kesi meliput satu gegeran kisah cinta yang tidak biasa, lalu menuliskannya menjadi sebuah artikel yang menarik. Kesi menerima syarat itu dengan senang. Tapi ia tak mengira, selain menulis artikel ia sendiri juga yang mengalami peristiwa tidak biasa tersebut.<br />
<br />
Pa-nya berselingkuh dengan seorang perempuan pemilik kedai pancake Blue Romance.<br />
<br />
Kejadian demi kejadian yang tidak disangka-sangka dilakoni Kesi. Mulai dari Ma yang jatuh ambruk, segmen todong menodong senjata ke arah Pa dan selingkuhannya, sampai dengan hiruk-pikuk di kedai pancake Blue Romance yang sulit dikendalikan.<br />
<br />
Dari kejadian ini, Kesi belajar satu hal, kehidupan cinta dan juga pernikahan itu tersusun dari 25% saling mencintai, 25% saling percaya, 25% saling memahami, dan 25% saling memaafkan.<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><span style="font-size: x-small;"><i>➖➖➖</i></span></i></span></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><b><span style="font-size: x-small;"><i> </i></span>Author</b>:<b> Desi Puspitasari | </b>Karya:
Buku -Novel | Tebal: 232 halaman | Terbit: May 5, 2017 | Penerbit: Histeria | Nomor ISBN: </i></span><span style="font-size: x-small;"><i>9786026595829 | Panjang x Lebar : 14 x 20 cm</i></span></div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<br />
<br /></div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-40121433913976906312017-04-15T12:14:00.000+07:002017-07-09T12:15:46.620+07:00Mimpi Kecil Tita<div style="text-align: justify;">
”Tita enggak tega bayangin Simbah harus jalan kaki saat pergi ke surga.” Suara Tita bergetar. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
”Terus?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
”Terus... terus....” Tita kembali berpikir sementara waktu. ”Terus... yang Tita ingin lakukan sekarang cuma membuat Simbah bahagia saja. Titik.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
*** </div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0jCu0vZn7Ta6tf451k6iIOQxSiLZHqPpxyVHYM1MlNV_FXXZIVNzhxyXMUcEhRdmMbq1r5V1U5uzYfC_HihdXOMyXboQcRna7kvOdScs3_mAplS0NCZE-sq9rZo_8FvLtD67jfAq8vg0/s400/Novel+Mimpi+Kecil+Tita_Desi+Puspitasari.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="400" data-original-width="284" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0jCu0vZn7Ta6tf451k6iIOQxSiLZHqPpxyVHYM1MlNV_FXXZIVNzhxyXMUcEhRdmMbq1r5V1U5uzYfC_HihdXOMyXboQcRna7kvOdScs3_mAplS0NCZE-sq9rZo_8FvLtD67jfAq8vg0/s320/Novel+Mimpi+Kecil+Tita_Desi+Puspitasari.jpg" width="227" /></a></div>
Di usianya yang masih sangat belia, Tita harus kehilangan bapaknya. Absennya sang pencari nafkah utama membuat sulit kehidupan Tita dan ibunya di Jakarta. Keluarga besar menyarankan agar keduanya pindah ke Kulon Progo, demi memupus kesepian dan memangkas biaya hidup. Mereka manut. Tapi ternyata kesulitan hidup tak berhenti sampai di situ. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Rasa kehilangan yang teramat dalam telah tertanam dalam hati ibu Tita. Hingga akhirnya sang ibu meninggalkan Tita sendirian, hidup berdua hanya dengan Simbah Ti. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Laiknya bocah perempuan yang beranjak dewasa, terkadang Tita menyusahkan Simbah dan membuat orang tuanya itu terkena omelan para tetangga. Tita sadar bahwa ia hanya menyusahkan Simbah Ti di usianya yang sudah sangat tua. Maka, untuk membahagiakan Simbah, Tita bermimpi dan berusaha sekuat tenaga untuk mengabulkan satu permohonan Simbah, meski itu harus mengorek kembali luka masa lalunya sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><span style="font-size: x-small;"><i>➖➖➖</i></span></i></span></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><b><span style="font-size: x-small;"><i> </i></span>Author</b>:<b> Desi Puspitasari | </b>Karya:
Buku -Novel | Tebal: 267 halaman | Terbit: April 2017 | Penerbit: Republika Penerbit | Nomor ISBN: 978-602-0822-74-7 | Panjang x Lebar : 13
X20cm</i></span></div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<br /></div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-30743826999411698332017-01-19T06:13:00.000+07:002017-02-11T21:11:01.472+07:00Membunuh Cupid<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
<b>APA</b> kamu percaya cinta? Kamu percaya pernikahan? Percaya dua hal itu bisa membuatmu bahagia? <br />
<br />
Kalau Agno kok enggak, ya? Baginya, cinta hanya ilusi. Perang bisa terjadi karena cinta. Kecemburuan hanya terjadi karena cinta. <br />
<br />
Malaikat cinta harus bertanggung jawab. Dia harus dihentikan dari membikin orang jatuh cinta. <br />
<br />
Hemmmm, Seandainya saja Agno tahu cara membunuh Cupid.... <br />
<br />
<h3>
Sekilas Kisah Novel Membunuh Cupid</h3>
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilk4x8r_64l_kPI0mZHzAXa4WGkjV-J3f-Zr6PekWOneVfVbuU_Ad63fthe7nbJm1qd2_oUe3U3Ulr0zdj3N8Q-hX88Fi0_WtSYQUxX-N2QHPS78j2cLcA0Zv1hyDxbn2otp9Y751hNuY/s1600/Kover+Membunuh+Cupid.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilk4x8r_64l_kPI0mZHzAXa4WGkjV-J3f-Zr6PekWOneVfVbuU_Ad63fthe7nbJm1qd2_oUe3U3Ulr0zdj3N8Q-hX88Fi0_WtSYQUxX-N2QHPS78j2cLcA0Zv1hyDxbn2otp9Y751hNuY/s320/Kover+Membunuh+Cupid.jpg" width="208" /></a>Agno tidak percaya cinta atau pun pernikahan. Dia sudah melihat betapa banyak yang menderita akibat Cinta dan pernikahan. Ironisnya, dia bertugas membuat wedding bouquet untuk para pengantin. Agno menyalahkan Cupid. Dia ingin membunuh Cupid. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Suatu malam ajaib, akhirnya dia bertemu Cupid. Ternyata Cupid sesosok cowok bersayap yang ganteng! Cupid juga suka bertindak konyol dan muncul-menghilang seenak hatinya. Masalahnya, dia tak bisa dibunuh seperti cara manusia biasa. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Agno mencari cara agar bisa membunuh Cupid. Dia berhasil! Hanya saja dia tidak tahu akibat pembunuhan itu bagi hidupnya dan orang-orang terdekatnya. Terlebih saat cinta malah menuju jalan yang salah....<br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><span style="font-size: x-small;"><i>➖➖➖</i></span></i></span></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><b><span style="font-size: x-small;"><i> </i></span>Author</b>:<b> Desi Puspitasari | </b>Karya: Buku -Novel | Tebal: 248 halaman | Terbit: Januari 2017 | Penerbit: Falcon Publishing | Nomor ISBN: 9786026051448 | Panjang x Lebar : 13 X20cm</i></span></div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-4251926653389503972016-12-07T15:05:00.000+07:002017-01-12T15:13:13.040+07:00Jibril ala Jamal<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Jamaluddin Latif memonologkan naskah surealis Danarto tentang malaikat Jibril di Festival Teater Jakarta. Diseret ke kontekstual.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXZOKz4fh4x-EEMEjlbuT6g2wLOEGmo3NRj3s-3puOb-lqohQ7XEODfaBxXHazHu1Qtbs7bGjY0WOM1PhwWr0O84ZA2CIVhGjkOKNRye75q0Tzr9xRFIxHtwllEgg_LkkVxXkkJcMkvc0/s1600/Menjaring-Malaikat-oleh-Seno-Joko-Suyono-Majalah-Tempo.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXZOKz4fh4x-EEMEjlbuT6g2wLOEGmo3NRj3s-3puOb-lqohQ7XEODfaBxXHazHu1Qtbs7bGjY0WOM1PhwWr0O84ZA2CIVhGjkOKNRye75q0Tzr9xRFIxHtwllEgg_LkkVxXkkJcMkvc0/s320/Menjaring-Malaikat-oleh-Seno-Joko-Suyono-Majalah-Tempo.jpg" width="247" /></a></div>
<b>MENGENAKAN</b> jas, malaikat itu tampak gagah. Keren. Dua sayap terkembang di punggungnya. Ia memakai sepatu bot dengan alat beroda di kaki yang bisa maju-mundur. Lalu ia berputar-putar di panggung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu. Itulah Jibril versi Jamaluddin latif. Terasa modern sosoknya.<br />
<br />
Kemunculan Jibril urban ini didahului rekaman suara Jamal yang membacakan alinea pertama cerita pendek Danarto, Mereka toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat: Akulah Jibril, malaikat yang suka membagi-bagikan wahyu. Aku suka berjalan di antara pepohonan, jika angin mendesir: itulah aku; jika pohon bergoyang; itulah aku….<br />
<br />
Adalah tantangan memonologkan cerpen surealis Danarto dari kumpulan Adam Ma’rifat ini. Danarto menceritakan malaikat Jibril yang, setelah memberikan wahyu kepada para nabi, terbang melayang-layang. Di atas sebuah sekolah, ia melihat siswa-siswa yang pikirannya mampet. Ia ingin memberikan kesegaran pada otak mereka. Ia membuat genting-genting sekolah jatuh sendiri. Lubang menganga di atap dan sinar matahari masuk. Guru-guru serta murid heran. Dan menyuruh tukang kebun membersihkan.<br />
<br />
Cerpen Danarto semuanya dinarasikan dari sudut oandnag malaikat, Kekuatan Danarto, ia mampu menyajikan tema spiritual dengan cara penglihatan baru yang tak terduga dan sering dibumbui humor. Pekerjaan Jibril adalah memberikan wahyu. Sampai hari ini mungkin bagi Danarto, Jibril terus menjatuhkan wahyu, juga kepada anak-anak. Tentu bukan wahyu dengan W besar seperti yang diberikan kepada nabi-nabi, tapi semacam percikan ‘insight’ kecerdasan atau semacam itu.<br />
<br />
Namun sutradara Ibed Surgana Yuga bertendensi mengkontekskan kisah sureal Danarto ini. Ia tak bertahan pada sudut oandang malaikat. Desi Puspitasari, penulis skenario, memanjangkan naskah asli Danarto. Porsi tukang kebun diperbesar. Dibuat adegan tersendiri. Kalimat Danarto ditambah-tambahi. Jamal memainkan malaikat sekaligus tukang kebun dan guru.<br />
<br />
Selengkapnya sila baca di <a href="http://jaringproject.com/stage/jibril-ala-jamal.html" target="_blank">jaringproject.com</a> <br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i>➖➖➖</i></span></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><b>Pentas Teater: Menjaring Malaikat | </b>Sutradara: Ibed Surgana Yuga | Penulis Naskah: Desi Puspitasari | Aktor (tunggal): Jamaluddin Latif | Produksi: JaringProject | Pentas:</i></span><span style="font-size: x-small;"><i><span style="font-size: x-small;"><i> TIM Jakarta,</i></span> 29 November 2016 | Diliput: Majalah Tempo</i></span></div>
<br /></div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-4598618254759550692016-12-04T15:08:00.000+07:002017-01-12T15:12:58.978+07:00Menjaring Malaikat itu Serba Pas, Serba Terkendali<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQURDn3oWUDsBhHqMB2hGSsTUbwpa1Cgnx95faWzXGv22c5_tYsPMJg24itbOxFp7NWt4dahV-9RGCQJzuw9fIQ1HvPao7pw9PojRhb91Y-WofydsQ-P2JEvIE25DwIWeZIBAoPa_vH1M/s1600/Menjaring+Malaikat+itu+Serba+Pas%252C+Serba+Terkendali.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="266" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQURDn3oWUDsBhHqMB2hGSsTUbwpa1Cgnx95faWzXGv22c5_tYsPMJg24itbOxFp7NWt4dahV-9RGCQJzuw9fIQ1HvPao7pw9PojRhb91Y-WofydsQ-P2JEvIE25DwIWeZIBAoPa_vH1M/s400/Menjaring+Malaikat+itu+Serba+Pas%252C+Serba+Terkendali.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Di tangan dua kelompok tamu Festival Teater Jakarta, cerita-cerita pendek yang ditulis sastrawan dan perupa Danarto ada pada 1970-an dan 1980-an terasakan seperti baru ditulis kemarin sore.<br /><br />Dalam kegelapan, kain latar panggung yang hitam terangkat, menyuguhkan sebuah lorong panjang yang ada di baliknya. Dentuman teratur memekak telinga, dengan irama yang lebih lambat daripada denyutan jantung, mencekamkan cahaya putih yang menyorot kuat dari ujung lorong. Lorong cahaya itu menyilaukan, membuat samar sesosok ganjil yang meluncur perlahan.<br /><br />Ya, meluncur, sosok itu tak berjalan. Bentuk seperti sepasang sayap di punggungnya pun tak mengepak. Tubuhnya seperti mengambang, meluncur anggun melintasi lorong cahaya, perlahan rupanya kian mewujud jelas. Jas hitamnya sedikit kedombrongan, bercelana kain layaknya kaum berdasi, tetapi memakai sepasang sepatu bot plastik murahan.<br /><br />Luncurannya sosok ganjil itu berhenti di bibir belakang panggung yang kini gelap gulita lantaran lorong cahaya itu menghilang. Sesorot cahaya putih dari sayap panggung menerpa seadanya. Samar, sosok ganjil itu mengangkat tangan, mengujar teks dari cerita pendek ”Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat” karya Danarto dengan penuh wibawa.<br /><br />”Akulah Jibril. Malaikat yang suka membagi-bagikan wahyu yang dipercayakan Tuhan kepadaku. Jika angin berhembus, itulah aku. Aku di padang pasir, aku di gunung-gunung, aku di laut, aku di udara. Aku suka berjalan-jalan di antara pepohonan, melentur-lentur melayang di antara batang pohon pisang dan mangga. Kedatanganku senantiasa ditandai hembusan angin di antara pepohonan atau padang pasir…,” sang Jibril bersabda.<br /><br />Pelan, keremangan panggung sirna, bertajuk ”Menjaring Malaikat” oleh Jaring Project dalam salah satu bagian dari pementasan Festival Teater Jakarta di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kewibawaan Jibril pun menguap. Ia meluncur pelan dengan tubuhnya tak lagi menegap gagah. Aktor Jamaluddin Latif memang piawai memainkan mini scooter elektroniknya, yang membawa tubuhnya meluncur berkeliling panggung. Si Jibril yang kini bengal bergoyang-goyang ke kiri-kanan. Dengan tubuh terbungkuk, tetapi pongah, dan tampang yang jahil, mengujar kalimat-kalimatnya sendiri.<br /><br />”Tapi, tugasku menyampaikan wahyu telah selesai. Nabi terakhir telah ditetapkan. Jadi, akulah Jibril, malaikat pengangguran,” kata Jibril terkekeh-kekeh.<br /><br />”…Supaya aku masih tampak punya harga diri, dan tidak dituduh memakan gaji buta, aku pura-pura tetap sibuk bekerja. Salah satunya adalah mengusili para manusia. Aku pernah membisiki orang-orang tertentu, meminta orang-orang itu mengaku menjadi nabi baru. Keisenganku menimbulkan gejolak panas. Banyak orang yang tidak terima dan marah-marah,” Jibril tertawa-tawa, tubuhnya meluncur ke kiri-kanan, tanpa berjalan.<br /><br /><b>Naratif</b><br />Begitulah Jamaluddin, mengalirlah alur dari cerita pendek yang ditulis Danarto pada 1975 itu. Cerita pendek itu telah disadur menjadi naskah monolog oleh Desi Puspitasari, yang juga seorang novelis dan cerpenis. Kata-kata bengal, seperti bagaimana Jibril merasa menjadi malaikat pengangguran menjadi jembatan untuk memanggungkan teks asli Danarto yang bercerita tentang bagaimana Jibril mengisengi sebuah sekolah berikut tukang kebunnya.<br /><br />Selanjutnya sila simak <a href="http://jaringproject.com/stage/aryo-wisanggeni-menjaring-malaikat-serba-pas-serba-terkendali.html" target="_blank">jaringproject.com</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i>➖➖➖</i></span></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><b>Pentas Teater: Menjaring Malaikat | </b>Sutradara:
Ibed Surgana Yuga | Penulis Naskah: Desi Puspitasari | Aktor (tunggal):
Jamaluddin Latif | Produksi: JaringProject | Pentas: TIM Jakarta, 29 November 2016 |
Diliput: Koran Kompas</i></span></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-79971349128946251772016-10-18T14:07:00.000+07:002017-01-12T14:07:52.792+07:00Cuka<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJ0jnmNezULJc-j8xVsSqWJJYfvo1IVESO2e65ElLLL7ZoeG-fACaauOKgZxJvGT5Swnfpy9E7ecHWxWqZSNi4mVcSeP_aEvEOBTsn3gJZup9N-7wAIo_m2w8SJiFZ8ZNEe4IM8mlcQU8/s400/Ilustrasi+Cuka+-+Lombok+Pos.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJ0jnmNezULJc-j8xVsSqWJJYfvo1IVESO2e65ElLLL7ZoeG-fACaauOKgZxJvGT5Swnfpy9E7ecHWxWqZSNi4mVcSeP_aEvEOBTsn3gJZup9N-7wAIo_m2w8SJiFZ8ZNEe4IM8mlcQU8/s400/Ilustrasi+Cuka+-+Lombok+Pos.jpg" width="400" /></a></div>
<b>AYAH</b> terbahak saat mendengar pertanyaanku; apa rahasia membuat mi goreng instan yang enak? <br />
<br />“Masa menu sesederhana seperti itu harus memiliki resep rahasia?”<br /><br />Aku sedang tidak bercanda. Musim dingin begini tiba-tiba aku ingin mi goreng orak-arik telur. Seperti yang ayah biasa buat saat aku kecil. Kata Ayah tidak ada rahasia. Coba saja buat sendiri dulu. <br />Saat pulang kantor, dengan ujung hidung merah karena kedinginan, aku memaksa diri mampir ke toko Asia. Asal saja aku memasukkan beberapa bungkus mi ke dalam keranjang belanja. Saat tengah malam, aku masih harus menyelesaikan banyak editan foto, perutku lapar. Mi instan pertama dari kantung belanja adalah mi kuah seafood. Aduh, salah ambil. <br /><br />Bagaimana menjadikan mi kuah menjadi goreng? Aku mencoba mengurangi jumlah air dan bumbu bubuknya supaya tak terlalu asin. Kemudian tambah sendiri kecap dan bubuk cabe. Masukkan microwave. Tiga menit mesin berdenting, mi goreng siap. <br /><br />Aku santap perlahan. Entah karena sedang sendirian atau karena ini mi kuah yang dipaksa menjadi mi goreng, atau dimasak menggunakan microwave, rasa mi sama sekali tidak enak. <br /><br />Selanjutnya sila simak <a href="http://id.klipingsastra.com/2016/10/cuka.html" target="_blank">id.klipingsastra.com</a><br />
<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small;"><b>Author</b>: <b>Leikha Ha | </b>Karya: Cerita Pendek | Terbit: <span style="color: black; line-height: normal;">16 Oktober 2016 | </span>Diterbitkan: <span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">Koran </span></span></span></span></span></i><i><span style="font-size: x-small;"><span style="color: black; line-height: normal;">Lombok Pos</span></span></i></div>
<br />
<br />
<b> </b>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-51662793175530866392016-10-18T01:50:00.000+07:002017-01-12T13:15:44.642+07:00Eksis<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpcBF6scafAVe7TsiQlgnE-0STuCmwK_KADadhyrAboIXdBEIljYYyXrXJpFS8VoQ4n5FITei1pVMYV3SUKqBC908K76GXOLlZRLdaU_KePh8EckmqKG4EtvLsVuG-98v5uU1LamIxJY8/s400/Ilustrasi+Cerpen+Remaja+Koran+Minggu+Pagi+16+Oktober+2016+karya+Bagong.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpcBF6scafAVe7TsiQlgnE-0STuCmwK_KADadhyrAboIXdBEIljYYyXrXJpFS8VoQ4n5FITei1pVMYV3SUKqBC908K76GXOLlZRLdaU_KePh8EckmqKG4EtvLsVuG-98v5uU1LamIxJY8/s400/Ilustrasi+Cerpen+Remaja+Koran+Minggu+Pagi+16+Oktober+2016+karya+Bagong.jpg" width="340" /></a></div>
<b>”Aduh</b>, gawat, gawat, gawat,” Riskiyari tampak panik dan kebingungan. Setelah sepanjang ketemuan dengan teman-teman yang lain kepalanya menunduk menghadap layar hape terus, akhirnya sekarang ia mendongak.<br />
<br />
Teman-temannya bersikap biasa saja. Mereka sudah hafal dengan kebiasaan kawannya yang doyan eksis tesebut. Paling sebentar lagi dia akan bilang….<br />
<br />
”Eh, aku numpang update sosmed, dong. Update instagram dan balas komen di Facebook. Sebentar saja,“ pinta Riskiyari. ”Ada yang penting banget, nih.“<br />
<br />
”Sepenting apa?” tanya Wita.<br />
<br />
”Aku kudu posting buat nunjukin kita lagi ketemuan,” jawab Riskiyari. Ia lalu merengek menanyakan apa boleh meminjam ponsel salah satu teman-temannya. Hanya sebentar, setelah medsos – media sosial – nya ter-update semua, ia akan segera mengembalikannya. ”Enggak bakal makan banyak kuota, deh. Suer. Aku janji.”<br />
<br />
Tidak ada yang menanggapi permintaan Riskiyari. Mereka malah menyimpan ponsel masing-masing ke dalam saku celana dan ke dalam tas.<br />
<br />
”Pulsaku habis, nih,” jawab Seto.<br />
<br />
”Aku juga sudah enggak punya kuota internet,“ timpal Dila. ”Mungkin nanti baru isi ulang.”<br />
<br />
”Aduuuh...,“ rengek Riskiyari. ”Terus aku apload gambar di instagramnya bagaimana?“<br />
<br />
”Nanti sepulang dari sini kan bisa?” tegur Ahmad yang sebenarnya sudah jengkel sedari tadi.<br />
<br />
”Memangnya kalau enggak di-upload sekarang kamu bakal rugi duit sampai milyaran, gitu?”<br />
<br />
Selengkapnya sila simak di <b><a href="http://id.klipingsastra.com/2016/10/eksis.html" target="_blank">id.klipingsastra.com</a></b><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small;"><b>Author</b> <b>Desi Puspitasari | </b>Karya: Cerita Pendek | Terbit: <span style="color: black; line-height: normal;">16 Oktober 2016 | </span>Diterbitkan: <span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">Koran </span></span></span></span><span style="color: black; line-height: normal;">Minggu Pagi</span></span></i></div>
<br />
<br />
<b> </b>
</div>
Desi Puspitasarihttp://www.blogger.com/profile/07638967113848012934noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-39680254673118924402016-09-12T01:55:00.000+07:002017-01-12T13:21:30.935+07:00Kambing Sebbal<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiukRzCJSjkMjg0xrsQy5CkzY2soj0QTRfGl2_s00Be_h8YeCkX0eS81YNrvGghdfvdOUdfeQM8TU9BejRDhr2gJMxSEGCVVXrccnyTv9sZf9qxO_vdh3Q9qNpVY6S373WGDoaaKCA3hk/s400/Ilustrasi+Cerpen+Koran+Media+Indonesia+10+September+2016+karya+Pata+Areadi.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiukRzCJSjkMjg0xrsQy5CkzY2soj0QTRfGl2_s00Be_h8YeCkX0eS81YNrvGghdfvdOUdfeQM8TU9BejRDhr2gJMxSEGCVVXrccnyTv9sZf9qxO_vdh3Q9qNpVY6S373WGDoaaKCA3hk/s400/Ilustrasi+Cerpen+Koran+Media+Indonesia+10+September+2016+karya+Pata+Areadi.jpg" width="380" /></a></div>
<b>APABILA</b> aku berubah menjadi kambing, lalu dikorbankan saat Idul Adha, akankah itu bisa menjadi kendaraan ibu pergi ke surga?<br />
<br />
Angan-angan itu terus berkecamuk dalam pikiran Sebbal, laki-laki dewasa yang terperangkap dalam tubuh dan kapasitas otak yang tak lebih baik dari seekor kerbau.<br />
<br />
“Tentu saja bisa,” sambut Pak Baonk. Kala itu mereka sedang berada di pos ronda.<br />
<br />
“Bagaimana bisa, Pak?” sahut Sebbal terheran-heran.<br />
<br />
“Kalau kau membaca karya Franz Kafka, diceritakan Gregor Samsa, si tokoh utama, berubah menjadi kecoak,” Pak Baonk melanjutkan penjelasannya. “Kau ingin berubah menjadi kecoak?”<br />
<br />
“Saya ingin menjadi kambing saja, Pak,” jawab Sebbal sungguh- sungguh. Saat salat Jumat kemarin, Sebbal mendengarkan ceramah yang mengatakan, barang siapa berkurban kambing atau sapi, maka hewan itu akan menjadi kendaraannya menuju surga.<br />
<br />
Sebbal sedih saat teringat mendiang ibunya. Perempuan tua yang mengurus Sebbal dengan penuh cinta, meski bukan anak kandungnya sendiri. Sekitar tiga puluh tahun lalu, perempuan tua yang sudah meninggal lima tahun silam, menemukan orok menangis di tegalan. Ia mengira sedang mendengar rintihan kuntilanak tengah malam.<br />
<br />
Perempuan tua itu memberanikan diri. Terkejutlah ia saat menemukan bayi merah dan masih licin--seluruh tubuhnya terbalur darah--tergolek telanjang di antara pohon ketela. Perempuan tua yang akhirnya dipanggil ibu itu merawat Sebbal dengan baik. Dan, tetap merawat penuh cinta dan kasih sayang, meski akhirnya Sebbal tumbuh menjadi laki-laki dewasa berotak dongok. “Bayi akan selalu dilahirkan dalam kondisi suci dan murni.” Pernah suatu hari ibu berkata demikian ketika seorang tetangga bertanya, mengapa Sebbal masih dipertahankan dan tak kembali dibuang saja. Bocah tolol merepotkan. “Perkara, apakah bayi itu akan tumbuh menjadi dewasa normal atau seorang bajingan, tergantung bagaimana seorang ibu merawatnya.”<br />
<br />
Sebbal baru bisa lancar berjalan saat usia tujuh tahun, lancar berbicara saat sepuluh tahun. Ia tak sekolah. Berkat ketekunan ibu mendidik Sebbal dengan baik, bocah itu alhamdulillah tumbuh menjadi seseorang yang berbudi pekerti baik.<br />
<br />
Selengkapnya sila baca <b><a href="http://id.klipingsastra.com/2016/09/kambing-sebbal.html" target="_blank">id.klipingsastra.com</a></b><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small;"><b>Author</b> <b>Desi Puspitasari | </b>Karya: Cerita Pendek | Terbit: <span style="color: black; line-height: normal;">11 September 2016 | </span>Diterbitkan: <span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">Koran Media Indonesia</span></span></span></span><span style="color: black; line-height: normal;"></span></span></i></div>
<br />
<br />
<b> </b>
</div>
Desi Puspitasarihttp://www.blogger.com/profile/07638967113848012934noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-10087383008534031642016-08-16T14:10:00.000+07:002017-01-12T14:11:20.182+07:00Lodewick <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGGBbumSVo2Cpm8d_wjZ1IhN_g-GY6wO-VGBjmgMW5aNWQo451dowySyLRrWjMiIu39Wa7zjqs1eWlQ80XTL42xUvpHiZKmk9_3w1_JD-h7evoq0yG1JFeD6Bp8Ld6OJ23WvMF74xq7Nw/s400/Ilustrasi+Cerpen+Koran+SoloPos+Minggu+14+Agustus+2016.jpeg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGGBbumSVo2Cpm8d_wjZ1IhN_g-GY6wO-VGBjmgMW5aNWQo451dowySyLRrWjMiIu39Wa7zjqs1eWlQ80XTL42xUvpHiZKmk9_3w1_JD-h7evoq0yG1JFeD6Bp8Ld6OJ23WvMF74xq7Nw/s400/Ilustrasi+Cerpen+Koran+SoloPos+Minggu+14+Agustus+2016.jpeg" width="360" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>MARIA</b> Lodewick tercenung di atas kasur. Tatapannya kosong. Rambutnya yang hitam-cokelat tergerai kusut. Tangannya merogoh bagian bawah bantal. Sebuah buku lusuh penuh tulisan tangan dibuka. Pada halaman pertama sebuah foto melayang jatuh. Tangan kurus Lodewick menengadah cepat menahan. Mungkin ini untuk kali ke sekian ia menatap foto tersebut. Seorang perempuan berayun gembira. Tawanya lebar, Matahari bersinar cerah. Angin menyibak rambutnya ke belakang. <br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
”He, Lodewick!” Ele berseru sambil menghentikan ayunan. Lodewick berhenti mengamati foto dalam genggaman. Ele menggaruk betis menggunakan ujung sepatu. ”Masih ingat tentang laki-laki paruh baya tampan di perpustakaan kota? Yang aku temui saat aku mengembalikan buku pinjamanmu—kau demam karena flu. Dan aku mengaku suka membaca buku filsafat dan sastra tebal.”<br /><br />”Kamu terlalu berani.” Lodewick menekuk-nekuk jarinya gelisah hingga bersuara kemeletuk. <br /><br />Selengkapnya sila simak <a href="http://id.klipingsastra.com/2016/08/lodewick.html" target="_blank">id.klipingsastra.com</a></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small;"><b>Author</b>: <b>Leikha Haryanto | </b>Karya: Cerita Pendek | Terbit: <span style="color: black; line-height: normal;">14 Agustus 2016 | </span>Diterbitkan: <span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">Koran </span></span></span></span><span style="color: black; line-height: normal;">Solo Pos</span></span></i></div>
<br />
<b> </b>
<br />
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-76017847092614547062016-07-31T14:15:00.000+07:002017-01-12T14:31:30.532+07:00Halusinasi Sherry <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPB-Dwei80FdgcQuRyhO9dYOB1hofJ34KeBUqzlhYibolsuwaIvX4gNiwvREUGjR53syG_GRob8LB_YBz6otrFQPo7F7sAVFNmtwHTg-uz0Fp6FyC546xwCwylU3plyvhXvrZN6z4Wag8/s400/Ilustrasi+cerpen+Solo+Pos+Minggu+31+Juli+2016.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPB-Dwei80FdgcQuRyhO9dYOB1hofJ34KeBUqzlhYibolsuwaIvX4gNiwvREUGjR53syG_GRob8LB_YBz6otrFQPo7F7sAVFNmtwHTg-uz0Fp6FyC546xwCwylU3plyvhXvrZN6z4Wag8/s320/Ilustrasi+cerpen+Solo+Pos+Minggu+31+Juli+2016.jpg" width="314" /></a></div>
<b>SAYA</b> Sherry. Seorang ibu dengan dua anak yang masih bocah dan memiliki kehidupan yang sangat bahagia. Ya, kehidupan saya bahagia. Tak memiliki masalah dan semuanya berjalan lancar. Ah, ya, kecuali suami saya. Laki-laki itu agak kurang waras. Saya menduga, ia menunjukan sikap yang demikian hanya untuk menutupi perbuatan serongnya.<br /><br />Mas Djumadi, suami saya, dulunya adalah orang yang baik, lembut, dan sabar. Tak sekalipun permintaan saya ditolaknya. Selalu dipenuhi dengan alasan kasih sayang.<br /><br />Kami bertemu laiknya dalam film atau sinetron cinta-cintaan. Ia pulang ke Indonesia dalam keadaan kurang sehat. Baru saja ditugaskan berjaga sebagai tentara perdamaian di Timur Tengah. Suatu waktu kakinya tertembak. Sempat mendapat perawatan di sana meski tak sampai sembuh benar.<br /><br />Sekembalinya ke negara sendiri, luka bekas tembak itu bengkak. Memerah dan bernanah. Buru-buru ia dibawa ke puskesmas tempat saya bertugas. Saya waktu itu adalah seorang mahasiswa perawat yang sedang menempuh beberapa sks pendidikan dengan magang di puskesmas di daerah sebagai salah satu syarat kelulusan.<br /><br />Mas Djumadi terkesan dengan cara merawat saya. Tangan dan perhatian saya yang membersihkan luka bernanah itu serasa belaian tangan bidadari surga. Tutulan obat cair pada bekas luka yang membengkak itu seolah tiupan lembut malaikat yang mampu menggetarkan dawai surga. Bebatan perban yang saya rapatkan perlahan dan sangat hati-hati terasa seperti pelukan bunga desa.<br /><br />“Ah, Mas Djumadi bisa saja.” Saya tersipu, sungguh. Selang beberapa saat saya mengangguk sebagai jawaban “ya” atas pernyataan cintanya. Setelah saya lulus kuliah, kami menikah, dan keluarga kami bahagia. Sangat bahagia.<br />
<br />
Selengkapnya sila simak <a href="http://id.klipingsastra.com/2016/08/halusinasi-sherry.html" target="_blank">id.klipingsastra.com</a><br />
<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small;"><b>Author</b>: <b>Dayita Manahapsari | </b>Karya: Cerita Pendek | Terbit: <span style="color: black; line-height: normal;">31 Juli 2016 | </span>Diterbitkan: <span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">Koran </span></span></span></span><span style="color: black; line-height: normal;">Solo Pos</span></span></i></div>
<br />
<br />
<b> </b>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-20103832263507341852016-07-20T00:12:00.000+07:002017-01-12T13:20:25.733+07:00Alang<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggPGpPo_bxalSC44HtDtyzROb-jZZg6uiztlOgVL_AkLRWLPiT4a6_AjrvizG23zriGLMiuNvyxiXc-xl0gP33SBZLgKya6oZHjN5D-kY-cKApQ5xMFE8igG6Nnu8krHBfLAWmxfp2YcOk/s1600/Alang+-+Desi+Puspitasari+.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggPGpPo_bxalSC44HtDtyzROb-jZZg6uiztlOgVL_AkLRWLPiT4a6_AjrvizG23zriGLMiuNvyxiXc-xl0gP33SBZLgKya6oZHjN5D-kY-cKApQ5xMFE8igG6Nnu8krHBfLAWmxfp2YcOk/s400/Alang+-+Desi+Puspitasari+.jpg" width="261" /></a></div>
<b>JALAN</b> seni memang terjal. Meski berbekal tekad yang kuat dan kerja keras, Alang masih terseok-seok untuk menggapai mimpi sebagai musisi. Bapaknya bukanlah tipe penuntut, tapi ia menginginkan anaknya memiliki cita-cita yang membuat hidupnya lebih sejahtera dibanding kehidupannya sekarang.<br />
<br />
Bapaknya hanyalah seorang tukang becak dan ibunya berjualan sayur di pasar pagi. <a href="http://puribuku.com/shop/alang-desi-puspitasari-bf-032" target="_blank"><span style="color: black;">Hobi dan cita-cita Alang</span></a> dianggap Bapak sangat mahal dan tidak menjanjikan. Ada banyak kasus di kampungnya yang memberi contoh bahwa pekerja dan penikmat seni hanyalah pekerjaan tak jelas. Seni tak hanya membuat mereka melarat karena tak bisa memberi penghasilan yang layak, seni bahkan dapat membuat mereka bermasa depan suram hingga generasi berikutnya.<br />
<br />
Alang ingin manut, tetapi ia juga tak bisa mengalihkan pikirannya ke selain menjadi seniman. Hanya ada dua pilihan: tinggal dan pergi untuk tak pernah kembali.<br />
<br />
Kisah Alang akan membuka mata kita betapa untuk menjadi dewasa, ada hal-hal yang harus kita putuskan dan tanggung risikonya seorang diri.
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><span style="font-size: x-small;"><i>➖➖➖</i></span></i></span></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><b><span style="font-size: x-small;"><i> </i></span>Author</b>:<b> Desi Puspitasari | </b>Karya: Buku -Novel | Tebal: 289 halaman | Terbit: July 21st 2016 | Penerbit: Republika | Nomor ISBN: 9786029474091</i></span></div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<br />
<br /></div>
Desi Puspitasarihttp://www.blogger.com/profile/07638967113848012934noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-33791183551042904052016-06-27T16:42:00.000+07:002017-01-13T16:47:03.513+07:00Nasi Kuning<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<b>INI </b>kulakukan tiap pagi. Bangun sekitar pukul lima. Duduk setengah mengantuk sambil menguap lebar dan mengucek mata hingga sadar penuh. Istriku masih tidur. Rambutnya kusut masai. Namun, ia masih terlihat cantik. Saat aku bergerak turun dari kasur, ia akan menggumam. ”Kau sudah bangun lagi. Pagi-pagi. Akan berlari?“ Tangannya menggapai udara kosong. </div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
”Seperti biasa.“ Tanganku menangkap dan mengecup punggung tangannya. </div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
”Ada yang aneh darimu, kau berlari tapi malah bertambah gemuk.“</div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
”Hanya sedikit.“ Aku meletakkan kembali tangan itu dengan hati-hati.</div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
Kepala istriku bergerak pelan. Ia kembali terlelap. </div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitI3K7r1f8ia7OrK3qOEpE-acQwIUBWJfrWeiIJe1EIvmmwmF0AL2JzlBQ3MTqI3GE_I0cLS_itBs4VmLMM5dp3rAdPjXXdhBgw8qgIt4EPq-THuL3kZFN0FaAfXC4Hs4p9FV76gLX6es/s400/Ilustrasi+Cerpen+Majalah+Horison+--Desi+Puspitasari.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitI3K7r1f8ia7OrK3qOEpE-acQwIUBWJfrWeiIJe1EIvmmwmF0AL2JzlBQ3MTqI3GE_I0cLS_itBs4VmLMM5dp3rAdPjXXdhBgw8qgIt4EPq-THuL3kZFN0FaAfXC4Hs4p9FV76gLX6es/s400/Ilustrasi+Cerpen+Majalah+Horison+--Desi+Puspitasari.jpg" width="370" /></a></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
Menjelang pukul enam. Keadaan masih agak remang meski matahari mulai bersinar terang. Permulaan pagi yang baik. Aku menghirup napas panjang. Melepaskannya perlahan. Menggerak-gerakkan tangan dan kaki untuk pemanasan. Lalu, berlari. Ini yang aku suka dari lari pagi. Udara segar. Keadaan sepi. Belum banyak yang bangun. Pintu-pintu masih tertutup. </div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
Awalnya beberapa bulan lalu. Putra pertamaku berkunjung saat akhir pekan. Cucuku, putranya, 6 tahun, gemas menusuk perutku dengan ujung jarinya yang mungil. Lalu, putraku berkata, ”Sudah saatnya kau berolah raga, Pa.“</div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
”Tidak terlalu gendut,“ kataku. </div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
”Hanya untuk kesehatan. Apa salahnya.“ </div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
Hari pertama berlari, napasku ngos-ngosan setengah mati. Sesampai di rumah, seluruh bagian tubuhku linu. Aku mengeluh. Dasar tulang jompo. Tidak mampu lagi menahan beban berat. Anakku di telepon berkata, ”Itu hanya reaksi pertama, Pa. Kau tidak boleh berhenti.“</div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
Aku kembali berlari esok pagi. Istriku? Ah, perempuan pemalas (aku bercanda di sini). Tubuhnya masih ramping. Ia menjaga pola makan dengan baik. Bahkan saat telah paruh baya. Jadi, mudah saja ia berkata tidak mau berlari. </div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
Selengkapnya sila simak di <a href="http://id.klipingsastra.com/2016/06/nasi-kuning.html" target="_blank">id.klipingsastra.com</a></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; margin: 0px; orphans: auto; text-align: justify; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<br /></div>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-19559950291430702702016-06-27T13:30:00.000+07:002017-01-12T13:30:58.262+07:00Brek<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTdhiBKf4_GOfI6MRafSH3znytMVxziRA6ZduWZ9cVf9nhuWBg5bRNqe-yKbnQCaHmmCq-JhLEn_AsiV4DnzRlYui8TekHuf_H_cRd0Rpc_PH81dQ_L2YmLgJm49OVdki_sqMkMqfz06o/s400/Ilustrasi+Cerpen+oran+SoloPos+26+Juni+2016.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTdhiBKf4_GOfI6MRafSH3znytMVxziRA6ZduWZ9cVf9nhuWBg5bRNqe-yKbnQCaHmmCq-JhLEn_AsiV4DnzRlYui8TekHuf_H_cRd0Rpc_PH81dQ_L2YmLgJm49OVdki_sqMkMqfz06o/s320/Ilustrasi+Cerpen+oran+SoloPos+26+Juni+2016.jpg" width="304" /></a></div>
<b>“SAYA</b> bukan seorang profesional. Hanya pembisik yang gagal menjalankan tugas karena jatuh cinta. Perempuan itu menangis saat turun dari panggung. Perbuatan saya yang melalaikan pekerjaan mencoreng muka dan menjadikannya bahan tertawaan. Saya tidak takut dan tidak menyesal. Bukan apa-apa. Hanya saja, perempuan itu kalau sudah marah besar hingga menangis malah kian tampak cantik bukan main, ya.”<br /><br />Brek hanya seorang tukang lampu dan set panggung saat bergabung di sebuah kelompok teater. Ia tinggal di kampung tidak jauh dari sanggar. Awalnya ia tidak sengaja datang dan melihat latihan. Telinganya asing saat mendengar nama-nama aneh disebut; Oedipus, Antigone, Jocasta, Ismene, dan yang lain, namun saat latihan diakhiri, Brek tanpa sadar bertepuk tangan tanpa mengerti sedikit pun Oedipus sesungguhnya bercerita tentang apa. <br /><br />Keesokan hari Brek mampir lagi. Saat orang-orang di sanggar kesulitan memindah properti, Brek refleks sigap membantu. Hari berikut dan berikutnya selain memindah level, daftar pekerjaannya bertambah menjadi menyapu dan mengepel lantai sebelum dan sesudah latihan, membikin teh, mengganti galon yang kosong dengan yang isi, hingga ia memberanikan diri bertanya apakah diperkenankan menyumbang tenaga kasarnya, tak digaji gede pun tak apa-apa sepanjang ia diizinkan menonton pertunjukan dengan gratis. Ia diperkenankan untuk itu.<br />
<br />
Selengkapnya sila simak <a href="http://id.klipingsastra.com/2016/06/brek.html" target="_blank">klipingsastra.com</a><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small;"><b>Author</b> <b>Desi Puspitasari | </b>Karya: Cerita Pendek | Terbit: <span style="color: black; line-height: normal;">26 Juni 2016 | </span>Diterbitkan: <span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">Koran </span></span></span></span><span style="color: black; line-height: normal;">Solo Pos</span></span></i></div>
<br />
<br />
<b> </b>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-1723507661795929542016-06-14T11:31:00.000+07:002017-01-12T14:38:04.744+07:00Ros<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIS7tkkFsrYYoqtSxHlvE6parNdF1Z_VrqCqnA_RjTUk2lGyW0psFQyg18965AC09jME2U-juOW_GOjSe3ldEzQ-2QrDXanLKReNx9sxifvdzd7-fzDuPCAkuNqLmWNeNAQXhFzAvjUNk/s400/Ilustrasi+Cerber+Ros+Majalah+Kartini+12+-+26+Mei+2016.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="321" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIS7tkkFsrYYoqtSxHlvE6parNdF1Z_VrqCqnA_RjTUk2lGyW0psFQyg18965AC09jME2U-juOW_GOjSe3ldEzQ-2QrDXanLKReNx9sxifvdzd7-fzDuPCAkuNqLmWNeNAQXhFzAvjUNk/s400/Ilustrasi+Cerber+Ros+Majalah+Kartini+12+-+26+Mei+2016.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Satu</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat aku berumur lima tahun, Ma bilang, “Ayahmu sudah meninggal dunia. Pneumonia.” Dan ketika aku berusia dua puluh delapan, Ma berkata: “Aku dulu berbohong. Sebenarnya ayahmu masih hidup. Segar bugar dan bekerja tidak jauh dari tempat kerjamu.”<br />
<br />
Untuk sejenak mulutku tak dapat mengatup. Aku terkejut. Sangat terkejut. Bagaimana bisa Ma bertindak sedemikian kejam terhadap anak perempuan satu-satunya? Ma membohongiku selama dua puluh tiga tahun dan dengan cara yang sungguh tak dapat ditolerir: mengarang cerita yang menyebutkan bahwa Pa sudah mati karena pneumonia padahal masih hidup dan kondisinya segar bugar. Bekerja di sebuah hotel bintang lima sebagai seorang Resident Manager.<br />
<br />
Sore itu aku dan Ma ketemuan di sebuah kedai teh. Ma yang menelepon minta bertemu. Setelah tiba dan memesan menu ia terlihat tidak tenang. Green tea latte yang dipesannya diseruput gelisah. Aku membiarkannya sampai ia bisa menguasai diri. Kalau Ma sampai bertingkah gugup dengan sedikit berlebihan seperti itu, biasanya ia ingin mengatakan sesuatu yang penting.<br />
<br />
Setelah menarik napas dan mengembuskannya berkali-kali, ia mendongak menatapku. Matanya mengerjap-ngerjap. <br />
<br />
“Ros,” ia mengulangi memanggil namaku hingga lima atau enam kali. Sendok kecil teh terpelanting jatuh ke atas meja karena tangan Ma yang gemetar. Ia kemudian meletakkannya di piring kecil dan menahan tangannya supaya tak lagi ceroboh. <br />
<br />
“Ros, kau ingat aku punya janji?”<br />
<br />
Janji apa, ya? Aku mencoba mengingat.<br />
<br />
“Kalau kau sudah berumur 28 tahun, aku akan memberitahukan sesuatu.”<br />
Oh, ya. Aku ingat. Setiap aku bertanya, Ma selalu mengulangi jawaban yang sama. “Percayalah. Ia meninggal karena sakit keras.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selengkapnya sila baca di <a href="http://id.klipingsastra.com/search/label/Ros?" target="_blank">id.klipingsastra</a></div>
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small;"><b>Author</b> <b>Desi Puspitasari | </b>Karya: Cerita Bersambung | Terbit: <span style="color: black; line-height: normal;">12, 27 Mei dan 13 Juni 2016 | </span>Diterbitkan: <span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">Majalah Kartini</span></span></span></span><span style="color: black; line-height: normal;"></span></span></i></div>
<br />
<br />
<b> </b>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-51618247759636988222016-05-31T23:56:00.000+07:002017-01-12T13:13:28.895+07:00Jogja Jelang Senja<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrT6ig41xmW2o6XBDb0YSbPP_ofYLPndxs5eHx17IZ-4fDj5R_UBomhfizjBnXEyk3RfMbrWafhRRi6fDnXAh5hwwvLndwQFJDqolYMUQPJvw9f6_Kkx6kOOAsIRozJ3VaUuliuYNYF5J3/s1600/Jogja+Jelang+Senja+-+Desi+Puspitasari.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrT6ig41xmW2o6XBDb0YSbPP_ofYLPndxs5eHx17IZ-4fDj5R_UBomhfizjBnXEyk3RfMbrWafhRRi6fDnXAh5hwwvLndwQFJDqolYMUQPJvw9f6_Kkx6kOOAsIRozJ3VaUuliuYNYF5J3/s200/Jogja+Jelang+Senja+-+Desi+Puspitasari.jpg" width="135" /></a> <b>SENJA</b> di Jogjakarta menawarkan banyak kemungkinan; di antara terang menuju petang; di antara pertemuan dan perpisahan; di antara Aris dan Kinasih.<br />
<br />
Aris bertemu Kinasih di pertigaan Pasar Kotagede, saat secara tak sengaja ia menabrak sepeda gadis itu. Sejak kejadian itu, Aris mengantar jemput Kinasih ke tempat kerja, sebab kaki gadis itu terluka, sementara ia belum mampu membayar <a href="http://puribuku.com/shop/jogja-jelang-senja-bf-017" target="_blank"><span style="color: black;">biaya ganti kerusakan sepeda</span></a>.<br />
<br />
Kedekatan keduanya menumbuhkan cerita baru. Ketika Aris ingin menggenggam erat tangan Kinasih, saat itu pula perbedaan keyakinan menjadi tembok bagi keduanya. Bisakah Aris dan Kinasih melewatinya?<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><span style="font-size: x-small;"><i>➖➖➖</i></span></i></span></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><b><span style="font-size: x-small;"><i> </i></span>Author</b>:<b> Desi Puspitasari | </b>Karya: Buku -Novel | Tebal: 228 halaman | Terbit: May 2016 | Penerbit: Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) | Nomor ISBN: 139786023754830</i></span></div>
</div>
Desi Puspitasarihttp://www.blogger.com/profile/07638967113848012934noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-14781329297800357572016-03-01T23:09:00.000+07:002017-01-12T12:09:23.702+07:00Rahasia Batik Berdarah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiks1ZlgWmw4gFrS2cCEbul2GThnOGZWEJUnwYTrSJGJR11_2zC12u42FBGikcM8OfPkXVvc7N-4N7mB1kcm37RaUrd3lDybta4z56fY5nI7l5ep3AUwUZ6GvRfixSlhyxXaf7OyIiTlWZZ/s1600/Rahasia+Batik+Berdarah+-+Leikha+Ha.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiks1ZlgWmw4gFrS2cCEbul2GThnOGZWEJUnwYTrSJGJR11_2zC12u42FBGikcM8OfPkXVvc7N-4N7mB1kcm37RaUrd3lDybta4z56fY5nI7l5ep3AUwUZ6GvRfixSlhyxXaf7OyIiTlWZZ/s400/Rahasia+Batik+Berdarah+-+Leikha+Ha.jpg" width="267" /></a>
<br />
Fiska berangkat ke Yogyakarta dengan frustrasi. Bukan hanya karena putus cinta. Keberangkatannya ke kota pelajar tersebut atas perintah meliput dadakan dari Pak Edi sebagai hukuman karena ia mangkir kerja selama seminggu demi menyembuhkan patah hatinya.
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Liputan kali ini bukan sekadar mengejar konfirmasi gosip selebritis, melainkan untuk mengungkap kasus pembunuhan Nita, karyawati sebuah perusahaan batik cap tradisional terkenal di kota tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berbagai keanehan ditemui Fiska selama mencari bahan berita. Pemilik pondok yang luar biasa santun tapi mampu membaca pikiran. Kejanggalan pengakuan Pak Wiryo, pemilik perusahaan batik cap. Dan noda darah pada sehelai kain batik cap di samping gudang kosong tempat Fiska dibawa oleh Diki, pacar Nita.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apa sebetulnya yang terjadi? Berhasilkah Fiska mengungkap kasus pembunuhan itu? Atau ia justru menjadi korban berikutnya? </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><span style="font-size: x-small;"><i>➖➖➖</i></span></i></span></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><b><span style="font-size: x-small;"><i> </i></span>Author</b>:<b> Leikha Ha | </b>Karya:
Buku -Novel | Tebal: 192 halaman | Terbit: February 25th 2016 | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Nomor ISBN: 139786020325545</i></span></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
Desi Puspitasarihttp://www.blogger.com/profile/07638967113848012934noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-60480423768251383982016-02-28T14:20:00.000+07:002017-01-12T14:22:02.147+07:00Di Tikungan Jalan <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-skFD_jtPmOH5eznZme68X4FgtvHq_N9quSLlRUewJtR_fYfcAqbv3ZI2VQDW6uB2knFJpt-csmuAptZqjsHkRl0RG0SxhdJ_8hcB30xr8tJc1DT7H_9QVZ2E587kFSbFU8nsyVfqFz8/s400/Ilustrasi+Cerpen+Koran+Pikiran-Rakyat+Minggu+28+Februari+karya+Yana+Husnah+Ruhyana.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="288" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-skFD_jtPmOH5eznZme68X4FgtvHq_N9quSLlRUewJtR_fYfcAqbv3ZI2VQDW6uB2knFJpt-csmuAptZqjsHkRl0RG0SxhdJ_8hcB30xr8tJc1DT7H_9QVZ2E587kFSbFU8nsyVfqFz8/s320/Ilustrasi+Cerpen+Koran+Pikiran-Rakyat+Minggu+28+Februari+karya+Yana+Husnah+Ruhyana.jpg" width="320" /></a></div>
<b>AKU</b> ingin pergi ke New York. Berjalan-jalan di Central Park saat musim panas. Menjumpai seorang pemusik yang memainkan satu nomor lagu yang aku tidak tahu judulnya. Nada naik. Nada turun. Saksofon berputar di udara. Tiga helai daun kuning hingga yang cokelat melayang jatuh. Dari arah selatan, aku dalam pakaian yang tidak kalah lusuh berjalan mendekat. Tepat di depan si pemusik, aku akan melempar tiga koin receh ke dalam kotak wadah saksofon. Lalu, aku akan berhenti sebentar. Berdiri di sebelah pejalan kaki yang lain. Ikut berdendang samar.<br /><br /> ATAU Postsdamer Platz. Berlin saat acara festival tahunan. Untuk kepentingan acara, panitia telah mendirikan panggung terbuka di bagian tengah jalan. Dengan sekaleng bir, aku berdiri tidak jauh dari panggung. Menyaksikan para penyair terkenal dunia membaca puisi. <br /><br />Atau ke Rooterdam. Atau ke mana saja.<br /><br />Aku butuh berpergian. <br /><br />Tapi, keadaanku sekarang sedang tidak begitu baik untuk jauh bepergian. Tidak cukup banyak uang. Tidak punya teman. Setelah berpisah dengan pacar, aku memutuskan mengepak barang untuk tinggal sementara di kota lain. Yang lebih kecil dan lebih menenangkan daripada Jakarta. Orang-orang menyebut Bandung sebagai Parijs van Java. Jadi, bila belum bisa betulan ke Perancis, aku bisa menyicil terlebih dulu pergi ke Bandung. Hahaha.<br />
<br />
Selanjutnya sila simak di <a href="http://id.klipingsastra.com/2016/02/di-tikungan-jalan.html" target="_blank">id.klipingsastra.com</a><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small;"><b>Author</b>: <b>Dayita Manahapsari | </b>Karya: Cerita Pendek | Terbit: <span style="color: black; line-height: normal;">28 Februari 2016 | </span>Diterbitkan: <span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">Koran </span></span></span></span><span style="color: black; line-height: normal;">Pikiran Rakyat</span></span></i></div>
<br />
<br />
<b> </b>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-8777493749638070972016-02-15T13:26:00.000+07:002017-01-12T13:27:51.156+07:00Hari Raya Bu Wagu <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkg-AL2Hg0Z638jF_j2mQs-CajjH8UCPidqLBwHJ4pxlPTlUhLdRiPrrd1Txn0jzz04FuhhABi8h6T-RrHOrO39hqxydxwwXjMIGy35WSFRg4KAmSWtqsGT2yDVYGLb2MkbuogLuHIRVg/s400/Ilustrasi+Cerpen+Desi+Puspitasari+-+Hari+Raya+Bu+Wagu.jpeg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkg-AL2Hg0Z638jF_j2mQs-CajjH8UCPidqLBwHJ4pxlPTlUhLdRiPrrd1Txn0jzz04FuhhABi8h6T-RrHOrO39hqxydxwwXjMIGy35WSFRg4KAmSWtqsGT2yDVYGLb2MkbuogLuHIRVg/s400/Ilustrasi+Cerpen+Desi+Puspitasari+-+Hari+Raya+Bu+Wagu.jpeg" width="400" /></a></div>
<b>BAGI</b> Bu Wagu, tak ada yang lebih setia dan memahami dirinya ketimbang anjing-anjingnya. Setelah suaminya meninggal dan anak-anaknya punya rumah sendiri, Bu Wagu memelihara anjing. Binatang-binatang setia dan penuh pengertian itu diberi nama Cokelat, Kopi, Susu, dan Teh Tubruk.<br /><br />“Bagus, Bu. Ketimbang kau kesepian,” kata anak bungsunya ketika menelepon dari luar kota. “Tapi apakah Ibu yakin peliharaan itu tak membikin masalah dengan para tetangga?”<br /><br />“Tidak. Aku akan menjaga mereka baik-baik.”<br /><br />Sejak mula para tetangga mengetahui bahwa Bu Wagu memelihara anjing. Dalam ajaran agama mereka, air liur anjing najis bila menyentuh kulit, tapi mereka hanya berkasak-kusuk. Hingga suatu sore Bu Wagu melepas anjing-anjingnya ke jalan di depan rumah.<br /><br />Cokelat, Kopi, Susu, dan Teh Tubruk berkejar-kejaran, termasuk anak-anak tetangga yang baru pulang bersepeda dari TPA dekat masjid kompleks rumah. Bocah-bocah itu menjerit ketakutan sampai menangis.<br /><br />Selengkapnya sila simak <a href="http://id.klipingsastra.com/2016/02/hari-raya-bu-wagu.html" target="_blank">id.klipingsastra.com</a><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small;"><b>Author</b> <b>Desi Puspitasari | </b>Karya: Cerita Pendek | Terbit: <span style="color: black; line-height: normal;">14 Februari 2016 | </span>Diterbitkan: <span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">intersastra[dot]coma</span></span></span></span><span style="color: black; line-height: normal;"></span></span></i></div>
<br />
<br />
<b> </b>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-1186915026796545872015-12-30T13:34:00.000+07:002017-01-12T13:35:37.954+07:00Janji di Perpustakaan <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHvEa5itJkNuiLRN9mYdJNDqPGrPVDHAqJs_lP0n0Npnllvy-vnV4deyaySDanbRf5l1Wvoq-CKdfIu0vvS8lkooqvkp-BPipMchIdWH973A_5cx5Owo_57GMPKfjrQkr3_kNopj5jmu8/s400/Ilustrasi+Cerpen+Genre+Remaja+Koran+Minggu+Pagi+27+Desember+2015+-+Desi+Puspitasari.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHvEa5itJkNuiLRN9mYdJNDqPGrPVDHAqJs_lP0n0Npnllvy-vnV4deyaySDanbRf5l1Wvoq-CKdfIu0vvS8lkooqvkp-BPipMchIdWH973A_5cx5Owo_57GMPKfjrQkr3_kNopj5jmu8/s400/Ilustrasi+Cerpen+Genre+Remaja+Koran+Minggu+Pagi+27+Desember+2015+-+Desi+Puspitasari.jpg" height="400" width="360" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>RUDI</b> merengut kesal saat keluar kelas. Ia tidak mengerjakan tugas bahasa Indonesia dari bapak guru Yadi. Tugas membikin resensi novel yang sebenarnya harus dikumpulkan hari ini.<br /><br />”Kemarin tidak mengerjakan tugas membuat puisi. Minggu kemarin tidak menyelesaikan tugas membuat cerita pendek. Minggu ini tidak mengerjakan tugas membuat resensi buku.” Pak guru Yadi memandang lekat-lekat murid didiknya.<br /><br />Rudi bersikap masa bodoh. Ia tidak menyukai pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran apa, sih, itu? Pelajaran kok membahas nama-nama pengarang dan cerita yang dikarangnya. Pelajaran kok membahas hasil kerja orang kurang kerjaan—melamun, diketik, dicetak jadi buku, dan dibaca banyak orang. Mau-maunya orang-orang membeli buku hasil lamunan orang kurang kerjaan—dan sekarang ia harus membikin resensinya. <br /><br />“Pelajaran bahasa Indonesia akan mengajarkanmu mencintai karya sastra Indonesia. Kalau bukan kalian, dan utamanya kamu Rudi, lalu siapa lagi yang akan mengapresiasi karya anak negeri?” Pak Guru Yadi masih terus melanjutkan nasihatnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />Selengkapnya sila simak di <a href="http://id.klipingsastra.com/2015/12/janji-di-perpustakaan.html" target="_blank">id.klipingsastra.com</a></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small;"><b>Author</b> <b>Desi Puspitasari | </b>Karya: Cerita Pendek | Terbit: <span style="color: black; line-height: normal;">27 Desember 2015 | </span>Diterbitkan: <span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">Koran </span></span></span></span><span style="color: black; line-height: normal;">Minggu Pagi</span></span></i></div>
<br />
<br />
<b> </b>
<br />
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-19877775323764818342015-12-10T13:38:00.000+07:002017-01-12T13:40:25.483+07:00Cireng Dua Juta <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOhiKZu3mVxniVajyjm0aej4DAVl_TCpWrkBCMi-090dm-Aqg07zY0mUy0gTOsdxjxazWcvdmtzrNJGEbgCWyIrBF_22UxAb2AFAPxxXpBGdI2BH_JNhe7iM31y2pbJoqrL6JJKo0N00w/s400/Ilustrasi+Cerpen+Majalah+Kawanku+9+Desember+2015+-+Desi+Puspitasari.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOhiKZu3mVxniVajyjm0aej4DAVl_TCpWrkBCMi-090dm-Aqg07zY0mUy0gTOsdxjxazWcvdmtzrNJGEbgCWyIrBF_22UxAb2AFAPxxXpBGdI2BH_JNhe7iM31y2pbJoqrL6JJKo0N00w/s400/Ilustrasi+Cerpen+Majalah+Kawanku+9+Desember+2015+-+Desi+Puspitasari.jpg" height="320" width="298" /></a></div>
<b>TAWA</b> teman-teman meledak keras. Untung waktu itu masih jam istirahat, sehingga tidak ada kelas atau pelajaran yang terganggu. Anis menunduk dengan sedikit cemberut.<br /><br />“Cireng dua juta?” seru Erina dengan tawa yang masih melengking. “Gara-gara cireng dua juta, kamu enggak masuk sekolah selama lima hari.”<br /><br />“Aku kira karena kamu enggak masuk itu karena sakit akibat babak belur saat dijotos tanding silat, je,” sahut Nur yang duduk di sebelah Anis. <br /><br />“Ya, itu juga,” sahut Anis. “Gara-gara cireng dan juga dijotos Ragil.”<br /><br />“Terus, hubungannya antara latihan silat dengan cireng dua juta bagaimana, tuh?” <br /><br />“Memangnya di sekolah kita ada mas penjual cireng seharga dua juta?” Nur juga tampak begitu heran.<br /><br />
<br />
<br />Selengkapnya sila simak <a href="http://id.klipingsastra.com/2015/12/cireng-dua-juta.html" target="_blank">id.klipingsastra.com</a><br />
<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><span style="font-size: xx-small;"><b>Author</b> <b>Desi Puspitasari | </b>Karya: Cerita Pendek | Terbit: </span></i><i><span style="font-size: xx-small;"><span style="color: black; line-height: normal;"><span>Majalah Kawanku" 9 Desember 2015</span> | </span>Dite</span><span style="font-size: xx-small;">rbitkan: </span><span>Majalah Kawanku</span></i></span></div>
<span style="font-size: x-small;"><br /></span>
<br />
<b> </b>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-68881923688292165252015-10-25T13:41:00.000+07:002017-01-12T13:43:39.160+07:00Begitu Luka, Begitu Dini di Bromo <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhx8JkDA09R-6wFf60ru-QTpIBDao8EqVu6sH5Kd9giwZ2KM2ZI5I857VhmnB5ujwtltlbZBN9cXqst_AVd1z3eZBV47rgWaTDegwNr07BgaYNRfXflhpu5bqk93U5yAOdLZTxJRgvpyIo/s400/Ilustrasi+Cerpen+Koran+Suara+NTB+-+Desi+Puspitasari+-+Begitu+Dini+Begitu+Luka+di+Bromo.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhx8JkDA09R-6wFf60ru-QTpIBDao8EqVu6sH5Kd9giwZ2KM2ZI5I857VhmnB5ujwtltlbZBN9cXqst_AVd1z3eZBV47rgWaTDegwNr07BgaYNRfXflhpu5bqk93U5yAOdLZTxJRgvpyIo/s400/Ilustrasi+Cerpen+Koran+Suara+NTB+-+Desi+Puspitasari+-+Begitu+Dini+Begitu+Luka+di+Bromo.jpg" height="292" width="320" /></a></div>
<b>PUKUL </b>tiga dini hari. Angin bertiup dingin seperti setan lewat. Kabut putih tipis melayang perlahan.<br />
<br />“Kau hapal daerah sekitar sini, bukan? Kau bisa berjanji tak akan menabrak patok pembatas jalan? Kalau kau oleng, kita ambruk, patah tulang, semua kegiatan hari ini akan runyam. Laki-laki itu memang akan peduli dan memberi perhatian, bahkan mungkin saja membatalkan segala rencana dan kegiatan demi membawaku ke rumah sakit. Tapi perempuan yang akan menjadi calon istrinya pasti berpikir aku sengaja melakukan sabotase. Aku tidak ingin membikin keributan.”<br /><br />Hrrr... hrrr....<br /><br />Kuda berbadan tegap itu mendengus. Kepalanya meleng ke kanan. Badannya bergoyang sedikit ke kiri. Tangan perempuan itu tetap tenang menggenggam tali kekang. Ia sedang menghitung keselamatan perjalanan dalam jarak pandang terbatas. Tidak tahan lagi oleh perasaan sesak yang begitu dalam, ia memacu kuda. <br />
<br />
Selengkapnya sila baca <a href="http://id.klipingsastra.com/2015/10/begitu-luka-begitu-dini-di-bromo.html" target="_blank">id.klipingsastra.com</a><br />
<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small;"><b>Author</b> <b>Desi Puspitasari | </b>Karya: Cerita Pendek | Terbit: </span></i><i><span style="font-size: x-small;"><span style="color: black; line-height: normal;"><i><span style="font-size: x-small;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">24 Oktober 2015</span></span></span></span></span></i> | </span>Diterbitkan: <span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">Koran Suara NTB</span></span></span></span><span style="color: black; line-height: normal;"></span></span></i></div>
<br />
<br />
<b> </b>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6697097744250869068.post-42728729202330470642015-09-28T13:47:00.000+07:002017-01-12T13:48:56.092+07:00Di Tikungan Jalan <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsgh4GgkZ53z8UyMzKD-q7Ql5yQkPwUS66AbvQ6YT0yAiIfSEJSOIVKEAcy84n6BTYv0ttFhRyoFlM6vLRsetDR5emMkOlsak7m9vf72mhZNGfO_9tuj9ifjQgOsmwcmm2R4RYZmhriI4/s400/Ilustrasi+Cerpen+Koran+Suara+Karya+Minggu+20+Sept+15+-+Desi+Puspitasari+-+Di+Tingkungan+Jalan.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsgh4GgkZ53z8UyMzKD-q7Ql5yQkPwUS66AbvQ6YT0yAiIfSEJSOIVKEAcy84n6BTYv0ttFhRyoFlM6vLRsetDR5emMkOlsak7m9vf72mhZNGfO_9tuj9ifjQgOsmwcmm2R4RYZmhriI4/s400/Ilustrasi+Cerpen+Koran+Suara+Karya+Minggu+20+Sept+15+-+Desi+Puspitasari+-+Di+Tingkungan+Jalan.jpg" height="320" width="213" /></a></div>
<b>AKU</b> ingin pergi ke New York. Berjalan-jalan di Central Park saat musim panas. Menjumpai seorang pemusik yang memainkan satu nomor lagu yang aku tidak tahu judulnya. Nada naik. Nada turun. Saksofon berputar di udara. Tiga helai daun kuning hingga yang cokelat melayang jatuh. Dari arah selatan, aku dalam pakaian yang tidak kalah lusuh berjalan mendekat. Tepat di depan si pemusik, aku akan melempar tiga koin receh ke dalam kotak wadah saksofon. Lalu, aku akan berhenti sebentar. Berdiri di sebelah pejalan kaki yang lain. Ikut berdendang samar.<br /><br />Atau Postsdamer Platz. Berlin saat acara festival tahunan. Untuk kepentingan acara panitia telah mendirikan panggung terbuka di bagian tengah jalan. Dengan sekaleng bir aku berdiri tidak jauh dari panggung. Menyaksikan para penyair terkenal dunia membaca puisi.<br /><br />Atau Rooterdam. Atau di mana saja.<br /><br />Aku butuh berpergian.<br />
<br />
Selengkapnya sila simak <a href="http://id.klipingsastra.com/2015/09/di-tikungan-jalan.html" target="_blank">id.klipingsastra.com</a><br />
<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small; text-align: justify;">➖➖➖</span></i></div>
<div style="text-align: right;">
<i><span style="font-size: x-small;"><b>Author</b> <b>Desi Puspitasari | </b>Karya: Cerita Pendek | Terbit: 20 September 2015<span style="color: black; line-height: normal;"> | </span>Diterbitkan: <span style="box-sizing: border-box;"><span style="box-sizing: border-box;"><span style="line-height: normal;"><span style="color: black; text-align: justify;">Koran </span></span></span></span><span style="color: black; line-height: normal;">Suara Karya</span></span></i></div>
<br />
</div>
Unknownnoreply@blogger.com