Ayahku juga suka membanting barang. Menurutku, seharusnya ia menyalurkan kelebihan tenaganya dengan menjadi atlet gulat. Setidaknya ketika ia membanting manusia lainnya dan menang, ia akan mendapatkan uang. Ketika ibuku melakukan kesalahan, atau salah ucap, atau ketika ia tidak sependapat dengan suaminya, ayahku melempar tutup panci—atau, tepatnya, membanting tutup panci hingga penyok. Pada saat lain, ketika aku membantu ibuku memasak di dapur dan mengetahui wujud panci yang sekarang, aku bertanya padanya ada apa. Ia hanya menjawab, “Waktu itu ayahmu sedang naik darah.”
Oh iya. Tentu saja. Ibuku sebenarnya tertekan. Hanya saja ia tidak pernah mengatakannya pada ayah. Pada usia lima atau tujuh tahun aku sering menemui ibuku menangis di dalam kamar sambil menulis-nulis di kertas. Aku bertanya apa yang ditulisnya. Ia tidak menjawab, hanya terisak. “Lebih baik aku mati. Aku sudah tidak tahan lagi. Lebih baik aku mati.”
Selengkapnya sila simak id.klipingsastra.com
Oh iya. Tentu saja. Ibuku sebenarnya tertekan. Hanya saja ia tidak pernah mengatakannya pada ayah. Pada usia lima atau tujuh tahun aku sering menemui ibuku menangis di dalam kamar sambil menulis-nulis di kertas. Aku bertanya apa yang ditulisnya. Ia tidak menjawab, hanya terisak. “Lebih baik aku mati. Aku sudah tidak tahan lagi. Lebih baik aku mati.”
Selengkapnya sila simak id.klipingsastra.com
➖➖➖
Author Desi Puspitasari | Karya: Cerita Pendek | Terbit: 16 Oktober 2011 | Diterbitkan: Koran Jawa Pos
SOCIALIZE IT →