Minggu, Desember 04, 2016

Menjaring Malaikat itu Serba Pas, Serba Terkendali

Posted By: Utroq Trieha - 15.08
Di tangan dua kelompok tamu Festival Teater Jakarta, cerita-cerita pendek yang ditulis sastrawan dan perupa Danarto ada pada 1970-an dan 1980-an terasakan seperti baru ditulis kemarin sore.

Dalam kegelapan, kain latar panggung yang hitam terangkat, menyuguhkan sebuah lorong panjang yang ada di baliknya. Dentuman teratur memekak telinga, dengan irama yang lebih lambat daripada denyutan jantung, mencekamkan cahaya putih yang menyorot kuat dari ujung lorong. Lorong cahaya itu menyilaukan, membuat samar sesosok ganjil yang meluncur perlahan.

Ya, meluncur, sosok itu tak berjalan. Bentuk seperti sepasang sayap di punggungnya pun tak mengepak. Tubuhnya seperti mengambang, meluncur anggun melintasi lorong cahaya, perlahan rupanya kian mewujud jelas. Jas hitamnya sedikit kedombrongan, bercelana kain layaknya kaum berdasi, tetapi memakai sepasang sepatu bot plastik murahan.

Luncurannya sosok ganjil itu berhenti di bibir belakang panggung yang kini gelap gulita lantaran lorong cahaya itu menghilang. Sesorot cahaya putih dari sayap panggung menerpa seadanya. Samar, sosok ganjil itu mengangkat tangan, mengujar teks dari cerita pendek ”Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat” karya Danarto dengan penuh wibawa.

”Akulah Jibril. Malaikat yang suka membagi-bagikan wahyu yang dipercayakan Tuhan kepadaku. Jika angin berhembus, itulah aku. Aku di padang pasir, aku di gunung-gunung, aku di laut, aku di udara. Aku suka berjalan-jalan di antara pepohonan, melentur-lentur melayang di antara batang pohon pisang dan mangga. Kedatanganku senantiasa ditandai hembusan angin di antara pepohonan atau padang pasir…,” sang Jibril bersabda.

Pelan, keremangan panggung sirna, bertajuk ”Menjaring Malaikat” oleh Jaring Project dalam salah satu bagian dari pementasan Festival Teater Jakarta di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kewibawaan Jibril pun menguap. Ia meluncur pelan dengan tubuhnya tak lagi menegap gagah. Aktor Jamaluddin Latif memang piawai memainkan mini scooter elektroniknya, yang membawa tubuhnya meluncur berkeliling panggung. Si Jibril yang kini bengal bergoyang-goyang ke kiri-kanan. Dengan tubuh terbungkuk, tetapi pongah, dan tampang yang jahil, mengujar kalimat-kalimatnya sendiri.

”Tapi, tugasku menyampaikan wahyu telah selesai. Nabi terakhir telah ditetapkan. Jadi, akulah Jibril, malaikat pengangguran,” kata Jibril terkekeh-kekeh.

”…Supaya aku masih tampak punya harga diri, dan tidak dituduh memakan gaji buta, aku pura-pura tetap sibuk bekerja. Salah satunya adalah mengusili para manusia. Aku pernah membisiki orang-orang tertentu, meminta orang-orang itu mengaku menjadi nabi baru. Keisenganku menimbulkan gejolak panas. Banyak orang yang tidak terima dan marah-marah,” Jibril tertawa-tawa, tubuhnya meluncur ke kiri-kanan, tanpa berjalan.

Naratif
Begitulah Jamaluddin, mengalirlah alur dari cerita pendek yang ditulis Danarto pada 1975 itu. Cerita pendek itu telah disadur menjadi naskah monolog oleh Desi Puspitasari, yang juga seorang novelis dan cerpenis. Kata-kata bengal, seperti bagaimana Jibril merasa menjadi malaikat pengangguran menjadi jembatan untuk memanggungkan teks asli Danarto yang bercerita tentang bagaimana Jibril mengisengi sebuah sekolah berikut tukang kebunnya.

Selanjutnya sila simak jaringproject.com


➖➖➖
Pentas Teater: Menjaring Malaikat | Sutradara: Ibed Surgana Yuga | Penulis Naskah: Desi Puspitasari | Aktor (tunggal): Jamaluddin Latif | Produksi: JaringProject | Pentas: TIM Jakarta, 29 November 2016 | Diliput: Koran Kompas



DESI PUSPITASARI:

Adalah penulis kelahiran Madiun yang sejak menempuh pendidikan tinggi -di Bulak Sumur- hingga kini tinggal di Jogjakarta. Selain menulis cerpen, cerber dan novel, bersama tim @JaringProject ia juga menulis naskah pertunjukan-teater.

Ads

Copyright ©2010- | Templatezy | Karya Sastra | Desi Puspitasari