TAHUN INI SEPERTINYA MUSIM PANAS berlangsung dengan tidak menyenangkan. Kondisi rumah tangga yang payah, teh tawar yang biasanya segar kini terasa bagai kobokan, dan tak ada pai apel kesukaan Abigail.
Sepertinya kami harus berpisah, kalimat pertama yang terlontar dalam hati saat Abigail menerima telepon pukul tiga dini hari. Tapi hubungan ini masih bisa dipertahankan, lanjutnya saat mencuci muka. Thomas hanya sedang terpuruk, perempuan itu masih terus menggumam tanpa suara, dan kami tak memiliki alasan kuat untuk tak melanjutkan apa yang telah kami mulai.
Kami harus saling mendukung—aku harus mendukung Thomas. Sepeda motor Abigail melaju di jalan sepi dan sebulir air mata bening mengalir di pipi. Abigail sangat sayang dan mencintai suaminya. Namun akhir-akhir ini dadanya sering sesak menahan diri terhadap semua yang sedang terjadi.
Sabar adalah satu-satunya tindakan yang bisa ia lakukan sekarang karena tak kelihatan pilihan lain. berpisah? Abigail tak mampu membayangan bagaimana jadinya bila mereka kemudian benar-benar tak lagi bersama. Barangkali hari-harinya akan terasa bagai kiamat meski ia tak bagaimana kiamat nanti akan terjadi.
“Ma chéri,” sambut Thomas ketika Abigail menghentikan kendaraan. Kondisi laki-laki itu payah, berdiri dengan posisi tubuh semacam sempoyongan di pagar pembatas sungai.
“Kau bau got.” Abigail urung melepas helm dan tiba-tiba saja malas turun motor.
“Ma chéri, bicaramu seolah-olah kau ini pernah minum atau nyemplung selokan saja.” Thomas cekikikan sambil berjalan terhuyung dan hampir jatuh karena terserimpet kakinya sendiri.
Abigail memutuskan untuk tidak turun motor. Thomas mendarat di boncengan dengan memeluk pinggang istrinya.
“Aku tidak mabuk, Ma chéri. Sungguh. Hanya terlalu banyak menenggak sari buah. Kau tahu, segala yang berlebihan memang tidak baik. Tidak mengandung alkohol, tapi bila sari buah yang terlalu banyak juga akan membikin modar, eh, teler. Kayak kamu yang terlalu banyak minum air putih kan juga bakal keliyengan?”
Sepertinya kami harus berpisah, kalimat pertama yang terlontar dalam hati saat Abigail menerima telepon pukul tiga dini hari. Tapi hubungan ini masih bisa dipertahankan, lanjutnya saat mencuci muka. Thomas hanya sedang terpuruk, perempuan itu masih terus menggumam tanpa suara, dan kami tak memiliki alasan kuat untuk tak melanjutkan apa yang telah kami mulai.
Kami harus saling mendukung—aku harus mendukung Thomas. Sepeda motor Abigail melaju di jalan sepi dan sebulir air mata bening mengalir di pipi. Abigail sangat sayang dan mencintai suaminya. Namun akhir-akhir ini dadanya sering sesak menahan diri terhadap semua yang sedang terjadi.
Sabar adalah satu-satunya tindakan yang bisa ia lakukan sekarang karena tak kelihatan pilihan lain. berpisah? Abigail tak mampu membayangan bagaimana jadinya bila mereka kemudian benar-benar tak lagi bersama. Barangkali hari-harinya akan terasa bagai kiamat meski ia tak bagaimana kiamat nanti akan terjadi.
“Ma chéri,” sambut Thomas ketika Abigail menghentikan kendaraan. Kondisi laki-laki itu payah, berdiri dengan posisi tubuh semacam sempoyongan di pagar pembatas sungai.
“Kau bau got.” Abigail urung melepas helm dan tiba-tiba saja malas turun motor.
“Ma chéri, bicaramu seolah-olah kau ini pernah minum atau nyemplung selokan saja.” Thomas cekikikan sambil berjalan terhuyung dan hampir jatuh karena terserimpet kakinya sendiri.
Abigail memutuskan untuk tidak turun motor. Thomas mendarat di boncengan dengan memeluk pinggang istrinya.
“Aku tidak mabuk, Ma chéri. Sungguh. Hanya terlalu banyak menenggak sari buah. Kau tahu, segala yang berlebihan memang tidak baik. Tidak mengandung alkohol, tapi bila sari buah yang terlalu banyak juga akan membikin modar, eh, teler. Kayak kamu yang terlalu banyak minum air putih kan juga bakal keliyengan?”
Selengkapnya sila baca di id.klipingsastra
➖➖➖
Author: Dayita Manah Hapsari | Karya: Cerita Bersambung | Terbit: 21 dan 28 Februari 2015 | Diterbitkan: Majalah Femina
SOCIALIZE IT →